Nationalgeographic.co.id—Hasil sebuah survei menyebutkan bahwa orang muda Indonesia ternyata berkontribusi dalam menyelamatkan bumi. Dengan segala kreativitas dan keterbatasannya, orang muda di Indonesia bergerak untuk beramai-ramai menyelamatkan bumi.
Hal ini terlihat dari survei yang diadakan oleh Global Youth Biodiversity Network (GYBN) Asia Tenggara bersama dengan GYBN Indonesia. Survei ini dilakukan secara serentak di 10 negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Dari 381 proyek yang dikumpulkan dari 10 negara ASEAN tersebut, seluruhnya selaras dengan pencapaian target Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM GBF).
KM GBF merupakan perjanjian internasional yang diadopsi pada 2022 oleh 196 negara saat Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB (COP1 5). Tujuannya adalah memandu upaya global dalam melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati hingga tahun 2030.
Keterlibatan orang muda memainkan peran penting dalam melakukan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan ASEAN. “Isu biodiversitas ini sangat kompleks. Maka, perlu didorong adanya partisipasi yang inklusif," kata Nadia Putri Rachma, Regional Coordinator GYBN Asia Tenggara dan National Coordinator GYBN Indonesia.
"Tidak bisa jika hanya satu lapisan masyarakat saja yang membantu mengimplementasikan dan melakukan monitoring,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan tertulis GYBN Indonesia.
GYBN adalah jejaring yang digerakkan oleh orang muda dan merupakan konstitusi resmi untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati (UN CBD), yang didedikasikan untuk konservasi keanekaragaman hayati dan praktik-praktik berkelanjutan.
Nadia menekankan pentingnya peran orang muda, mengingat nantinya merekalah pemimpin masa depan. “Sebenarnya, partisipasi orang muda menjadi penting karena alasan itu. Kalau tidak ada kita, siapa yang nanti akan memimpin?”
Lebih lanjut ia menjelaskan, survei yang dilakukan GYBN tidak mencakup semua orang muda se-Indonesia, tetapi tetap bisa dilihat sebagai data awal. Dengan kurun waktu pengisian survei 31 hari, survei tersebut diikuti oleh 89 responden yang rata-rata punya pendidikan tinggi dan sebagian bekerja di LSM.
Survei ini bertujuan untuk mendokumentasikan dan memetakan inisiatif terkait konservasi biodiversitas yang digagas orang muda untuk menangkap betapa beragamnya kontribusi orang muda.
Baca Juga: Harapan Baru, Hutan Tropis Indonesia yang Rusak Akan Tumbuh Kembali
Bukti kontribusi orang muda Indonesia
Meski respondennya tidak terlalu banyak, dalam waktu relatif singkat GYBN Indonesia bisa mendapatkan banyak bukti bahwa kegiatan yang telah dilakukan oleh orang muda Indonesia sangat banyak. Namun, mereka sering kali tidak menyadari sudah melakukan apa saja.
“Pendokumentasian ini sangat penting untuk melacak kegiatan apa saja yang sudah dilakukan. Ketika sudah menyadari apa yang sudah mereka lakukan, mereka bisa lebih memahami pola kegiatan mereka," tutur Nadia.
"Dengan begitu, di masa mendatang mereka bisa menyusun rencana strategis untuk melakukan sesuatu. Selain itu, mereka bisa mengukur apakah kegiatan mereka sudah berdampak atau belum, apakah sudah ada sistem monitoringnya atau belum,” katanya lagi.
Selain itu, dari sudut pandang pengambilan keputusan, pemetaan tersebut menjadi sebuah informasi yang menguatkan bahwa anak muda memang benar-benar punya kontribusi. Namun, ketika bicara soal pencapaian target global, memang belum terukur, karena indikatornya belum ditetapkan.
“Di forum COP 16 CBD sedang dibicarakan soal monitoring framework. Ketika bicara soal partisipasi inklusif, dan sudah terlihat tren kegiatan anak muda, seharusnya sektor-sektor lain bisa membantu dan terlibat dalam monitoring penerapan target KM GBF," ujar Nadia.
"Selama ini kita tidak memonitor, sehingga pencapaian orang muda Indonesia tidak terhitung. Hasil survei ini menjadi bukti. Jika ada yang bertanya orang muda melakukan apa saja, dari dokumentasi terlihat sudah banyak."
Suka kegiatan yang menyenangkan
Dari survei terlihat bahwa orang muda sangat tertarik pada kegiatan yang nyata, yang seru, dan menyenangkan (fun). “Kalau ikut menanam pohon atau menyelam untuk restorasi terumbu karang, aksinya kan lebih kelihatan, lebih bisa merasakan koneksi dengan alam, sekaligus ngobrol dengan masyarakat sekitar," ucap Nadian.
"Having fun itu penting banget buat orang muda. Kalau tidak happy dalam melakukan sesuatu, apa gunanya kita melakukan hal itu?”
Sebaliknya, mereka kurang menyukai kegiatan yang terkait dengan advokasi, hukum, dan pendanaan. Karena, istilah advokasi itu sering diasosiasikan dengan kampanye yang terus mendorong agenda mereka, harus marching atau unjuk rasa, dan sebagainya.
Baca Juga: Science Film Festival 2024: 'Terdesak' Kebutuhan untuk Menyelamatkan Bumi
Nadia menilai, advokasi merupakan hal yang memerlukan kapasitas pemahaman lebih mendalam dan belum umum diberikan kepada orang muda. Untuk melakukan advokasi, diperlukan berbagai keterampilan.
“Tidak semua orang mau advokasi dan mencari pendanaan. Karena, kegiatan tersebut memerlukan akses informasi yang tidak banyak didapatkan oleh orang muda," kata Nadia.
"Beberapa di antaranya terkait dengan privilege. Misalnya, apakah punya koneksi, punya latar belakang pendidikan yang baik untuk memahami hal tersebut.”
Dalam pandangan Nadia, melakukan tugas advokasi sangat menantang bagi kesehatan mental. Advokasi tidak untuk semua orang, karena tidak mudah.
“Orang muda harus memahami dahulu apa yang kamu perjuangkan. Apakah perjuangan ini datang dari ego kamu atau kebutuhan ekosistem? Kalau memang kebutuhan ekosistem, ekosistem mana yang kamu perjuangkan. Jadi, memang harus punya kematangan berpikir seperti itu.”
Pentingnya pendanaan
Harus diakui, jika ingin menyelamatkan lingkungan, pasti ada biaya yang harus dikeluarkan. Biaya tersebut tidak hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga dukungan nonfinansial.
Survei mengungkap, 72% orang muda di ASEAN sudah mendapatkan small grants dan pendanaan. Namun, ada 24% yang tidak mempunyai pendanaan. Rupanya, mereka belum memahami cara yang tepat untuk mendapatkan dana.
“Padahal, mekanisme finansial penting sekali. Ketika ada dana, berarti ada peluang untuk membuat kegiatan kita jadi lebih sustainable. Bukan hanya satu kali kegiatan, lalu selesai," ucap Nadia. "Di samping itu, ketika pendanaan mencukupi, kita bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak lebih besar."
Selain itu, Nadia memandang, orang muda perlu mendapatkan dukungan nonfinansial, misalnya area publik yang bisa diakses. Dengan begitu, ketika akan mengadakan pertemuan atau kegiatan, pilihannya tidak terbatas pada hotel atau ruangan pertemuan yang memerlukan sejumlah dana. Seandainya mereka bisa mengakses perpustakaan umum secara gratis, pasti akan lebih membantu.
“Mereka juga memerlukan akses informasi yang updated. Selama ini diskusi soal isu lingkungan biasanya hanya dari sudut pandang orang lapangan atau secara ilmiah," ujarnya.
"Padahal, banyak pihak lain yang bisa dieksplorasi. Kita perlu punya ruang untuk berdiskusi dengan orang dari latar belakang berbeda, sehingga kita bisa mendengarkan opini dari perspektif yang selama ini tidak kita miliki."
Kesadaran terhadap isu lingkungan
Dibandingkan dengan orang muda dari negara ASEAN lain, ternyata hasil survei terhadap orang muda Indonesia tak jauh berbeda. Misalnya, tentang kegiatan yang paling disukai dan yang paling tidak disukai.
“Di Indonesia kegiatannya menekankan pada penyelamatan hutan dan konservasi spesies. Tapi, bukan berarti mereka sebenarnya tidak melakukan hal lain. Banyak orang muda Indonesia yang menjalin kerja sama dengan media, banyak pula yang melakukan kegiatan lingkungan dari sudut pandang nonkonservasi,” kata Nadia.
Ia melihat, rata-rata orang muda Indonesia sudah paham terhadap isu lingkungan. Dari survei terlihat tak sedikit responden yang proyeknya berkisar di topik pengetahuan tradisional. Mereka mendokumentasikan praktik kearifan lokal, mereka belajar ngobrol dengan masyarakat adat.
“Lalu, apakah kita ingin orang muda Indonesia hanya punya pemahaman yang baik soal menjaga alam? Ataukah seharusnya mereka sudah memahami hal yang lebih jauh lagi?" tanya Nadia retoris.
"Contohnya, kita melihat biodiversitas merupakan sumber kehidupan. Kalau kita sudah menyadari hal tersebut, kenapa kita masih melihat biodiversitas sebagai komoditas? Betul, di satu sisi biodiversitas bisa menjadi komoditas. Tapi, adakah ruang-ruang yang memungkinkan kita untuk lebih berinovasi? Jangan-jangan praktik yang selama ini kita lakukan tidak efektif."