Upaya konservasi yang dilakukan masyarakat Tubigon memang bersifat multidimensi. Dengan mengangkat peran tradisional bantay dagat, atau penjaga laut, mereka telah menciptakan sistem pengawasan mandiri yang efektif.
Para bantay dagat ini dengan sigap melakukan patroli di wilayah perairan seluas 156 hektar terumbu karang dan 335 hektar mangrove, melaporkan segala aktivitas penangkapan ikan ilegal, dan menjaga kelestarian hutan mangrove.
Di sisi lain, perubahan perilaku masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan. Dulu, praktik penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan dinamit dan sianida merajalela. Namun, seiring berjalannya waktu, kesadaran akan pentingnya kelestarian sumber daya laut semakin meningkat.
Banyak nelayan kini beralih ke metode penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan, seperti budidaya kerapu, penangkapan kepiting dan cumi-cumi. Bahkan, beberapa masyarakat telah mengembangkan bisnis ekowisata yang mengandalkan keindahan alam bawah laut dan hutan mangrove.
Hutan mangrove, sebagai jantung ekosistem karbon biru di Tubigon, turut mendapatkan perhatian khusus. Pohon-pohon bakau ini tidak hanya berfungsi sebagai penyerap karbon yang sangat efisien, tetapi juga sebagai benteng alami yang melindungi desa dari abrasi, gelombang pasang, dan dampak buruk kenaikan permukaan air laut.
"Para ahli memperkirakan bahwa penanaman mangrove selama 4 dekade dapat menyimpan lebih dari 370 ton karbon per hektar," papar Cortez.
Dengan menginvestasikan waktu, tenaga, dan sumber daya untuk melestarikan ekosistem karbon biru, masyarakat Tubigon tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sumber daya alam yang terjaga dengan baik memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan melalui sektor perikanan, pariwisata, dan produk-produk berbasis mangrove. Selain itu, ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim juga semakin meningkat.
Membalikkan arus
Terletak di tengah hiruk-pikuk pertempuran melawan perubahan iklim, gugusan pulau Tubigon tetap tegar bertahan. Filipina, sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak buruk krisis iklim, kini semakin aktif dalam upaya global untuk membangun ketahanan komunitas pesisir.
Keikutsertaannya dalam aliansi internasional dan terpilihnya sebagai tuan rumah sebuah dana iklim global menjadi bukti komitmen negara ini untuk mengatasi tantangan yang semakin mendesak.
Bayangan pulau-pulau yang tenggelam dan komunitas yang hilang adalah mimpi buruk yang tak terbayangkan. Namun, di tengah keprihatinan global, secercah harapan mulai terlihat. Dengan sumber daya dan teknologi yang ada, kita memiliki peluang untuk membalikkan keadaan.
"Waktu semakin sempit, tetapi masih ada harapan untuk membalikkan arus," pungkas Cortez.