Kemudian bintoeng pajjekoe dan bintoeng tanra tellue. Bintoeng pajjekoe atau dikenal dengan dengan sebutan rakkalae yang berarti bajak.
Bintoeng pajjekoe digambarkan oleh masyarakat nelayan suku Bugis dengan berbentuk bajak, di tengah-tengah bintoeng pajjekoe terdapat tiga bintang sejajar yang diberikan istilah bintoeng tanra tellue yang berarti tiga suar.
Nelayan suku Bugis menggunakan bintoeng pajjekoe dan bintoeng tanra tellue sebagai sistem navigasi yang mengarahkan ke arah Barat, para nelayan juga mengganggap bahwa keberadaan bintoeng pajjekoe dapat menjadi sumber utama dalam penentuan seluruh arah. Ketika bintoeng pajjekoe sudah terlihat maka seorang nelayan sudah dapat menentukan arah.
Menurut Christian Pelras sebagaimana dikutip Rizal, sebenarnya jika dilihat dari asal usul budaya dan kegiatan ekonominya, sebagian besar orang Bugis bukanlah pelaut atau nelayan, melainkan pedagang.
Hal ini berbeda dengan suku Mandar yang sebagian besar melakukan pelayaran dan bermatapencaharian sebagai nelayan. Karena perdagangan yang dilakukan oleh suku Bugis menggunakan jalur laut, oleh karena itu mereka juga harus mengusai jalur-jalur perdangangan laut.
Baik suku Bugis ataupun Mandar sendiri diketahui juga bertempat tinggal di Karimunjawa. Sebagai pendatang suku Bugis masih memegang teguh filosofi yang diajarkan oleh orang tua dan nenek moyang mereka.
"Ada beberapa filosofi yang masih tertanam kuat dalam kehidupan Bugis dan Mandar di Karimunjawa," terang Rizal. Contohnya adalah palletui alemu riolo tejjokamu. Makna filosofi ini adalah jika ingin merantau, harus mengetahui atau memastikan tempat yang akan dituju dan mengetahui kondisi lingkungan sosial, budaya masyarakat setempat.
Para perantau harus memiliki keyakinan bahwa di perantauan mereka dapat hidup menyatu dengan lingkungan setempat. Filosofi lain yang berkaitan dengan kehidupan merantau adalah engkakotu manguju melle, aja’mutabbangkakengngi pada pasana, teggenne balu namele soro (ketika saat melakukan pekerjaan besar jangan sombong karena bisa saja engkau seperti pedagang pasar, yang bubar sebelum tengah hari karena penjual dan barang jualannya sangat sedikit).
"Filosofi ini mengungkapkan tekad dan semangat yang perlu dikobarkan kembali ketika orang Bugis dan Mandar merantau, baik ketika dalam perjalanan maupun setelah tiba di perantauan," pungkas Rizal.
Niat yang surut serta kegagalan dalam merantau dianggap sebagai perbuatan pengecut yang memalukan. Sejalan dengan tekat sebagai perantau, fisolofi pura babbara sompeku, pura tangkisi gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia (sudah kukembangkan layar dan memasang kemudi, jika mundur atau surut lebih baik tenggelam dengan perahu) menegaskan bahwa orang Bugis dan Mandar yang telah memilih merantau sebagai jalan hidup, harus teguh dalam pilihan hidupnya apapun resikonya.