Nationalgeographic.co.id—Suku Bugis dikenal sebagai pelaut yang dapat memanfaatkan perbintangan dan fenomena alam sebagai suatu sistem navigasi atau petunjuk arah dalam melakukan aktifitas pelayaran.
Begitu juga dengan masyarakat suku Bugis yang tinggal di Karimunjawa yang masih menjalankan tradisi nelayannya. Penelitian yang dilakukan oleh Rizal Akbar Aldyan dalam Model Pengelolaan Lingkungan Taman Nasional Karimunjawa Berbasis Masyarakat mengungkap bahwa tradisi nelayan tidak bisa dilepaskan dari tradisi yang terkait dengan hubungan kerja.
Dalam kegiatan mencari nafkah sebagai nelayan terdapat dua kategori nelayan yaitu nelayan punggawa dan nelayan sawi. Punggawa adalah pemilik modal yang menjadi ketua atau pimpinan dalam kegiatan mencari nafkah sebagai nelayan dan sawi adalah buruh atau pekerja bawahan yang tidak memiliki modal.
Stratifikasi dalam masyarakat nelayan Bugis terletak pada besaran modal dan alat tangkap. Punggawa memiliki status sosial yang tinggi dikarenakan memiliki modal (bagan/bagang) dan peralatan penangkapan ikan dalam jumlah yang besar. Selain itu, punggawa mendapat penghormatan dari masyarakat karena memiliki sawi dalam jumlah yang banyak.
Uniknya, mereka sudah mengenal sistem navigasi Bugis yang berpedoman pada benda-benda langit seperti bintang sangat sering digunakan oleh para pelaut masyarakat adat Bugis.
Selain berpedoman pada benda-benda langit seperti bintang, mereka juga berpedoman pada tanda-tanda alam seperti gelombang air laut, arus, dan angin.
"Terkait gugusan bintang sebagai alat bantu navigasi, dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah bintoeng. Jenis rasi bintang yang berkembang dalam masyarakat suku Bugis Karimunjawa bermacam-macam," tulis Rizal.
Ada bintoeng balue atau lebih dikenal oleh nelayan Bugis sebagai bintang janda atau bintang tunggal. Kata balue berasal dari kata balu yang memiliki arti janda.
Menurut masyarakat suku Bugis, bintoeng balue adalah bintang janda yang karena tunangannya meninggal sebelum menikah. Bintoeng balue merupakan salah satu rasi bintang yang digunakan oleh masyarakat nelayan suku Bugis dalam melakukan aktivitas pelayaran.
Bintang ini dikenal oleh masyarakat nelayan suku Bugis sebagai rasi bintang yang dapat menunjukkan arah selatan dalam pelayaran.
Bintoeng balue atau biasa dikenal dengan bintoeng sallatang merupakan salah satu rasi bintang yang paling terang di langit, sehingga mudah terlihat oleh masyarakat nelayan suku Bugis.
Baca Juga: Sentuhan Militer Ottoman dalam Laskar Perang Diponegoro vs Belanda
Kemudian bintoeng bola keppang yang digambarkan memiliki rumah dengan tiang yang satu lebih pendek dari tiang lainnya, sehingga rasi bintang ini terlihat pincang.
Menurut pemahaman masyarakat suku Bugis, bintoeng bola keppang dilambangkan dengan dengan seorang tukang kayu yang membangun rumah dan berkali-kali memotong tiang rumahnya secara tidak rata.
Tukang kayu tersebut tidak pernah menyelesaikan pekerjaan rumahnya sebab wanita cantik atau janda cantik (bintoeng balue) tetangganya selalu mengganggunya.
Bintoeng bola keppang dalam navigasi suku Bugis digunakan sebagai petunjuk arah selatan. Rasi bintoeng bola keppang digunakan oleh nelayan suku Bugis apabila dalam pelayaran Bintoeng Balue tidak terlihat posisinya selama pelayaran.
Keberadaan bintoeng bola keppang tidak jauh dengan bintoeng balue sehingga bintoeng bola keppang dapat dijadikan alternatif untuk menentukan arah selatan dalam navigasi masyarakat suku Bugis. Bintoeng bola keppang juga dapat digunakan sebagai tanda perubahan cuaca.
Lalu ada bintoeng bole mangngiweng dan bintoeng lambarue, dua rasi bintang yang berdekatan, yaitu bintoeng bole mangngiweng berarti bintang hiu, dan bintoeng lambarue yang berarti bintang pari.
Kedua rasi bintang ini tidak digunakan oleh masyarakat suku Bugis sebagai sistem navigasi, tetapi kedua rasi bintang ini digunakan oleh masyarakat suku Bugis sebagai penentu posisi pelabuhan dengan jarak jauh dan dapat digunakan sebagai bintang pedoman dalam mempertahankan haluan kapal pada saat aktivitas pelayaran.
Bintoeng kappala dan bintoeng balu mandara merupakan dua rasi bintang yang saling berdekatan. Bintoeng kappala atau biasa disebut dengan bintang biduk di mana rasi bintoeng kappala digambarkan sebagai kapal.
Bintoeng balu mandara atau biasa disebut dengan janda Mandar. Kedua rasi bintang ini dapat digunakan sebagai sistem navigasi untuk menunjukkan arah Utara.
Berdasarkan penggunaannya, bintoeng kappala banyak digunakan untuk menentukan arah utara sedangkan bintoeng balu mandara digunakan untuk penentuan secara spesifik.
Baca Juga: 'Di Lao Denangdaku' Mantra Suku Bajo untuk Menjaga Laut dari Kerusakan
Kemudian bintoeng pajjekoe dan bintoeng tanra tellue. Bintoeng pajjekoe atau dikenal dengan dengan sebutan rakkalae yang berarti bajak.
Bintoeng pajjekoe digambarkan oleh masyarakat nelayan suku Bugis dengan berbentuk bajak, di tengah-tengah bintoeng pajjekoe terdapat tiga bintang sejajar yang diberikan istilah bintoeng tanra tellue yang berarti tiga suar.
Nelayan suku Bugis menggunakan bintoeng pajjekoe dan bintoeng tanra tellue sebagai sistem navigasi yang mengarahkan ke arah Barat, para nelayan juga mengganggap bahwa keberadaan bintoeng pajjekoe dapat menjadi sumber utama dalam penentuan seluruh arah. Ketika bintoeng pajjekoe sudah terlihat maka seorang nelayan sudah dapat menentukan arah.
Menurut Christian Pelras sebagaimana dikutip Rizal, sebenarnya jika dilihat dari asal usul budaya dan kegiatan ekonominya, sebagian besar orang Bugis bukanlah pelaut atau nelayan, melainkan pedagang.
Hal ini berbeda dengan suku Mandar yang sebagian besar melakukan pelayaran dan bermatapencaharian sebagai nelayan. Karena perdagangan yang dilakukan oleh suku Bugis menggunakan jalur laut, oleh karena itu mereka juga harus mengusai jalur-jalur perdangangan laut.
Baik suku Bugis ataupun Mandar sendiri diketahui juga bertempat tinggal di Karimunjawa. Sebagai pendatang suku Bugis masih memegang teguh filosofi yang diajarkan oleh orang tua dan nenek moyang mereka.
"Ada beberapa filosofi yang masih tertanam kuat dalam kehidupan Bugis dan Mandar di Karimunjawa," terang Rizal. Contohnya adalah palletui alemu riolo tejjokamu. Makna filosofi ini adalah jika ingin merantau, harus mengetahui atau memastikan tempat yang akan dituju dan mengetahui kondisi lingkungan sosial, budaya masyarakat setempat.
Para perantau harus memiliki keyakinan bahwa di perantauan mereka dapat hidup menyatu dengan lingkungan setempat. Filosofi lain yang berkaitan dengan kehidupan merantau adalah engkakotu manguju melle, aja’mutabbangkakengngi pada pasana, teggenne balu namele soro (ketika saat melakukan pekerjaan besar jangan sombong karena bisa saja engkau seperti pedagang pasar, yang bubar sebelum tengah hari karena penjual dan barang jualannya sangat sedikit).
"Filosofi ini mengungkapkan tekad dan semangat yang perlu dikobarkan kembali ketika orang Bugis dan Mandar merantau, baik ketika dalam perjalanan maupun setelah tiba di perantauan," pungkas Rizal.
Niat yang surut serta kegagalan dalam merantau dianggap sebagai perbuatan pengecut yang memalukan. Sejalan dengan tekat sebagai perantau, fisolofi pura babbara sompeku, pura tangkisi gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia (sudah kukembangkan layar dan memasang kemudi, jika mundur atau surut lebih baik tenggelam dengan perahu) menegaskan bahwa orang Bugis dan Mandar yang telah memilih merantau sebagai jalan hidup, harus teguh dalam pilihan hidupnya apapun resikonya.