Sebagai contoh, Heraclitus ketika diminta untuk membuat hukum, ia menolak dan menyindir bahwa ia akan “membiarkan kota tetap dalam keadaan rusak,” yang berarti ia melihat moralitas warganya telah merosot.
Ephesus sudah menjadi kota yang dikagumi sejak Heraclitus kecil. Ia tidak memiliki guru resmi dan mengklaim telah belajar secara mandiri.
Dari sisa fragmen tulisannya, terlihat bahwa ia mengenal karya filsuf sebelumnya, puisi epik dan elegi, serta teks-teks sejarah yang beredar di Ionia pada masa itu.
Heraclitus memiliki sifat keras, pandangan kontroversial, dan cenderung angkuh. Ia memberikan seluruh kekayaannya kepada adiknya dan menggambarkan penduduk kota sebagai orang-orang yang tak berguna dan rusak.
Ia bahkan membakar tulisan-tulisannya yang sulit dipahami oleh banyak orang. Pada akhirnya, ia mengasingkan diri ke alam liar saat Republik Ephesus didirikan.
Kehidupannya erat terkait dengan perubahan besar di Ionia, meskipun ia tetap menjadi filsuf otodidak yang berdedikasi untuk mengeksplorasi ketidakpastian dan perubahan yang terus-menerus.
Keyakinan Filosofis dan Keterlibatan Politik
Sistem pemerintahan tirani di kota-kota Ionia berubah mendadak menjadi bentuk demokrasi, yang membawa kekacauan di Ephesus.
Di tengah perubahan ini, Heraclitus muncul sebagai filsuf yang sulit dipahami dan penuh teka-teki.
Awalnya ia menerima perubahan tersebut, tetapi kemudian marah besar setelah melihat gerakan rakyat yang berujung tragis (seperti kehancuran Miletus oleh Persia).
Puncak kemarahannya terjadi saat warga Ephesus mengasingkan sahabatnya, Hermodorus, agar semua orang dapat menjadi sama rata, sehingga membuat Heraclitus protes keras.