Nationalgeographic.co.id—Heraclitus dari Ephesus adalah salah satu filsuf Yunani kuno yang terkenal karena menentang demokrasi dan tirani. Heraclitus juga dikenal sebagai filsuf yang memiliki banyak pandangan tentang kehidupan setelah kematian.
Meskipun karya tulisnya tidak bertahan hingga saat ini, kita dapat memperoleh beberapa wawasan tentang ide-idenya melalui referensi penulis-penulis selanjutnya tentang Heraclitus.
Meskipun demikian, kita harus ingat bahwa kita tidak dapat mengklaim telah memahami sepenuhnya karya-karyanya, karena Heraclitus terkenal karena "ketidakjelasannya" yang disengaja bahkan pada zaman Yunani kuno.
Kehidupan dan Latar Belakang
Heraclitus hidup sekitar tahun 535 hingga 475 SM di kota Ephesus, kota terbesar kedua di Ionia.
Ia adalah putra Bloso dan berasal dari keluarga Androcleid, keluarga yang dipimpin oleh Androcles. Androcles adalah putra Raja Codrus dari Athena yang meninggalkan Athena dan mendirikan Ephesus di Ionia (Asia Kecil).
Diogenes mencatat bahwa Heraclitus melepaskan hak atas tahta keluarga dan memberikannya kepada saudaranya.
Strabo juga mengonfirmasi bahwa keluarga bangsawan keturunan Androcles di Ephesus masih memiliki gelar, mendapat posisi kehormatan dalam berbagai acara dan memiliki hak istimewa tertentu.
Sejak tahun 547 SM, Ephesus berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia dan diperintah oleh seorang satrap (gubernur). Namun, Raja Persia memberikan cukup banyak otonomi kepada bangsa Ionia.
Meskipun Efesus berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia dan dipimpin oleh seorang satrap, Raja Agung tetap memberikan otonomi yang cukup besar kepada kota-kota Ionia, termasuk Efesus.
Hal ini memungkinkan tokoh-tokoh lokal seperti Heraclitus untuk menjalani kehidupan yang tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kekuasaan asing, sehingga ia bebas mengeksplorasi filosofi dan sikap sinisnya terhadap pemerintahan dan masyarakat setempat.
Baca Juga: Damo, Putri Pythagoras dan Filsuf Yunani Kuno yang Misterius
Sebagai contoh, Heraclitus ketika diminta untuk membuat hukum, ia menolak dan menyindir bahwa ia akan “membiarkan kota tetap dalam keadaan rusak,” yang berarti ia melihat moralitas warganya telah merosot.
Ephesus sudah menjadi kota yang dikagumi sejak Heraclitus kecil. Ia tidak memiliki guru resmi dan mengklaim telah belajar secara mandiri.
Dari sisa fragmen tulisannya, terlihat bahwa ia mengenal karya filsuf sebelumnya, puisi epik dan elegi, serta teks-teks sejarah yang beredar di Ionia pada masa itu.
Heraclitus memiliki sifat keras, pandangan kontroversial, dan cenderung angkuh. Ia memberikan seluruh kekayaannya kepada adiknya dan menggambarkan penduduk kota sebagai orang-orang yang tak berguna dan rusak.
Ia bahkan membakar tulisan-tulisannya yang sulit dipahami oleh banyak orang. Pada akhirnya, ia mengasingkan diri ke alam liar saat Republik Ephesus didirikan.
Kehidupannya erat terkait dengan perubahan besar di Ionia, meskipun ia tetap menjadi filsuf otodidak yang berdedikasi untuk mengeksplorasi ketidakpastian dan perubahan yang terus-menerus.
Keyakinan Filosofis dan Keterlibatan Politik
Sistem pemerintahan tirani di kota-kota Ionia berubah mendadak menjadi bentuk demokrasi, yang membawa kekacauan di Ephesus.
Di tengah perubahan ini, Heraclitus muncul sebagai filsuf yang sulit dipahami dan penuh teka-teki.
Awalnya ia menerima perubahan tersebut, tetapi kemudian marah besar setelah melihat gerakan rakyat yang berujung tragis (seperti kehancuran Miletus oleh Persia).
Puncak kemarahannya terjadi saat warga Ephesus mengasingkan sahabatnya, Hermodorus, agar semua orang dapat menjadi sama rata, sehingga membuat Heraclitus protes keras.
Kesal dengan tindakan warga Ephesus, ia tanpa ragu mengkritik mereka. Rasa tidak sukanya terhadap masyarakat tampak jelas dalam tulisan-tulisannya yang masih ada, di mana ia mengecam moral politik bangsa Ionia.
Sebagai bangsawan, Heraclitus menentang baik demokrasi maupun tirani. Ia kemungkinan memainkan peran aktif dalam pergulatan politik di kampung halamannya.
Secara alami, ia berpihak pada kaum aristokrat dan menolak prinsip kesetaraan. Hal itulah yang membuatnya dikenal sebagai filsuf yang menentang demokrasi pada zaman Yunani kuno.
Ia pernah menulis, “Satu orang saja bagi saya setara dengan sepuluh ribu, jika dia luar biasa.”
Kegiatan politiknya tampaknya dimulai sekitar 510–500 SM, menjelang Pemberontakan Ionia. Pemerintahan pro-Persia dari para tiran Ephesus, Aristagoras dan Komas, tiba-tiba berakhir, dan demokrasi muncul.
Heraclitus berupaya mencegah terjadinya perubahan ekstrem di tanah kelahirannya, seperti yang terjadi di kota-kota Ionia lainnya.
Ia menganggap sahabatnya, Hermodorus, sebagai orang yang paling layak memimpin republik yang baru didirikan, namun kota Ephesus malah mengasingkannya.
Setelah itu, Heraclitus memutuskan hubungannya dengan kota dan penduduknya, menuduh mereka sebagai tiran.
Akhir Misterius Heraclitus
Setelah meninggalkan Ephesus, Heraclitus bersembunyi di pegunungan dan bertahan hidup hanya dengan makan rumput dan tumbuhan liar. Namun, akhirnya ia jatuh sakit parah.
Saat itu, Ephesus sedang dilanda penyakit edema, yang menyebabkan pembengkakan perut.
Ketika kembali ke Ephesus dalam kondisi lemah, Heraclitus menyalahkan para tabib yang menurutnya tidak memahami filsafat, dan ia mencoba mengobati dirinya sendiri.
Menyadari bahwa hidupnya mungkin akan segera berakhir, ia mencoba merawat dirinya dengan keyakinan akan "api abadi". Sebuah konsep termodinamika yang ia yakini.
Heraclitus meletakkan bantalan hangat di perutnya yang bengkak, berharap bisa menjaga "api" dalam tubuhnya.
Saat orang-orang menemukannya meninggal di pegunungan (atau di sebuah kandang sapi, menurut versi lain), mereka mengatakan ia telah membalut tubuhnya dengan kotoran untuk menjaga kehangatan.
Ada yang mengklaim tubuhnya dimangsa hewan liar, sementara yang lain berpendapat bahwa seseorang menguburnya di pasir.
Heraclitus mengakhiri hidupnya dengan cara yang misterius, selaras dengan kehidupannya yang penuh teka-teki sebagai seorang filsuf pada zaman Yunani kuno.