Agroforestri di Indonesia, Salah Satu Solusi Mengurangi Emisi Karbon

By Neza Puspita Sari Rusdi, Senin, 18 November 2024 | 14:48 WIB
Base Camp Rehabilitasi Rumah Kompos dan Pembibitan di Kecamatan Mandau, Duri. Di sinilah bibit-bibit agroforestri dirawat, sebelum akhirnya dibagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Setiap tahunnya, jutaan pohon ditebang demi pembangunan yang tidak kunjung usai. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023, luas kawasan berhutan Indonesia sebesar 105,86 juta hektare. Artinya, luas hutan di Indonesia mencapai 63 persen dari total daratan.

Laju deforestasi Indonesia pada tahun 2023 berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh Forest Declaration Assessment ialah sebesar 0,18 juta hektare per tahun. Tertinggi nomor dua di dunia.

Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton dengan menyumbang 19,9 persen emisi alih fungsi lahan dari totalan emisi dunia.

Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penghasil emisi terbesar di dunia artinya memiliki andil dalam upaya untuk mengurangi emisi karbon. Menurut Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) emisi karbon dioksida merupakan kontributor utama terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

Emisi ini terjadi terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan, seperti deforestasi. Sebagai salah satu negara penyumbang dan terdampak emisi, Indonesia menjadi negara peserta dari Protokol Kyoto 1997 dan terikat untuk melaksanakan ketentuan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di negara masing-masing.

Indonesia berkepentingan untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto karena adanya dampak buruk dari perubahan iklim terhadap Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004, dampak buruk yang terjadi yaitu mulai dari turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman, naiknya permukaan air laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, sampai dengan punahnya keanekaragaman hayati. Implementasi Protokol Kyoto di Indonesia juga memiliki tujuan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

Selama ini upaya mengurangi emisi karbon seringkali berfokus pada sektor energi. Namun, sebenarnya sektor pertanian dan kehutanan juga memiliki peran penting.

IPCC mempublikasikan laporan yang menyebutkan bahwa agroforestri atau wanatani memiliki potensi terbesar untuk penyerapan karbon dioksida. Agroforestri dinilai sebagai cara penting untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan meningkatkan penyerapan karbon. Selain itu, agroforestri juga memiliki fungsi lain sebagai mitigasi perubahan iklim.

Dikutip dari laman resmi Food & Agriculture Organization of The United Nations (FAO), agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang memadukan pohon dengan tanaman pertanian dan atau hewan secara spasial dan temporal pada tingkat lahan atau lanskap.

Agroforestri bisa menjadi solusi berbasis alam yang dapat mempertahankan produksi untuk meningkatkan ketahanan pangan, serta ketahanan pertanian terhadap perubahan iklim.

Baca Juga: Industri Kelapa Sawit Tengah Dihantam 'Karma', Dipicu Perubahan Iklim?

Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana bisa dengan agroforestri dapat menyimpan karbon?

Jawabannya sederhana sekali.

Pohon memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Nah, karbon yang diserap inilah kemudian akan disimpan dalam biomassa pohon (batang,daun,akar) dan tanah.

Dalam prinsip argoforestri, rotasi tanaman yang dilakukan secara berkala dapat meningkatkan kualitas tanah sehingga mampu memperbaiki kemampuan tanah untuk menyerap karbon.

Bagaimana jika tanaman atau pohon mati? Bukankah karbon akan ikut terlepas?

Tentu iya. Namun, setelah tanaman mati, maka proses pembusukan (dekomposisi) akan terjadi. Mikroorganisme tanah seperti bakteri dan jamur akan menguraikan bahan organik yang tersisa dan melepaskan karbon dalam dalam bentuk karbon anorganik atau humus.

Nah, humus inilah yang bertugas memperbaiki struktur dan kualitas tanah untuk menyimpan karbon dalam jangka panjang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karbon yang terkandung di dalam humus bisa bertahan puluhan hingga ratusan tahun dalam tanah.

 

Agroforestri tanaman kopi dengan sejuta manfaatnya ()

Penerapan agroforestasi pada tanaman kopi

Elida Novita dan timnya meneliti soal penerapan agroforestri yang terbit di Ecotrophic Jurnal Ilmu Lingkungan. Judulnya "Analisis Potensi Simpanan Karbon Agroforestri Perkebunan Kopi Robusta di Pegunungan Argupuro, Kabupaten Bondowoso". Mereka menyebutkan, penerapan sistem agroforestri dapat menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan perubahan iklim tanpa memerlukan pembukaan lahan baru untuk perkebunan.

Dengan adanya agroforestri ini juga bisa menjadi upaya untuk menyimpan simpanan karbon yang dibutuhkan untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer.

Wilayah Pegunungan Argopuro di Kabupaten Bondowoso adalah salah satu daerah yang menerapkan sistem agroforestri berbasis kopi. Secara umum, tanaman kopi membutuhkan tanaman pendamping untuk mendukung pertumbuhan dan menjaga kestabilan tanah. Oleh karena itu, pengembangan agroforestri sangat penting agar tanaman kopi dapat dilengkapi dengan pohon-pohon hutan atau tanaman lain yang berfungsi sebagai peneduh

Penelitian yang dilakukan Elida dan timnya memiliki 2 perbandingan. Pertama, tanaman kopi robusta dengan satu jenis tanaman peneduh dan kedua, tanaman kopi robusta dengan tiga jenis pohon peneduh. Dalam hal ini, pohon peneduh yang digunakan yakni pohon mangga, alpukat, pisang, pinus (pohon hutan), dan dadap.

Tanaman kopi robusta dengan satu jenis pohon peneduh tanpa pohon hutan hanya menghasilkan 80,68 kilogram simpanan karbon. Sedangkan tanaman kopi robusta dengan tiga jenis tanaman peneduh (termasuk pohon hutan) menghasilkan 2087,13 kilogram simpanan karbon.

"Variasi jumlah simpanan karbon dipengaruhi oleh jenis tanah, diversitas tanaman, dan pola pengolahan lahan," tutur Elida. Selain itu, suhu udara dan curah hujan merupakan beberapa faktor pendukung pembentukan karbon pada pohon atau tanaman.

Sama halnya dengan hasil penelitian milik Kharisma Wahyu Lestari dan Nilasari Dewi yang dipublikasikan di Jurnal Silvikultur Tropika dengan tajuk "Potensi Simpanan Karbon pada Beberapa Tipe Agroforestri Berbasis Kopi Robusta di Desa Rowosari, Jember".

Mereka meneliti cadangan karbon yang disimpan di tanah dengan agroforestri sederhana dan kompleks.

Agroforestri sederhana yang menggunakan tanaman kopi robusta dengan tanaman peneduh berupa pohon hutan (seperti pinus dan mahoni) yang menghasilkan potensi cadangan karbon sebesar 159,01 ton/hektare.

Untuk agroforestri kompleks yang menggunakan tanaman kopi robusta dengan beragam tanaman peneduh selain pohon hutan menyumbang potensi cadangan karbon sebesar 52,02 ton/hektare.

B. Mohan Kumar dan P.K. Ramachandran Nair dalam buku Carbon Sequestration Potential of Agroforestry Systems:Oppurtunities and Challenges mengungkapkan potensi penyimpanan karbon dalam argoforestri. Menurut mereka, meningkatkan stok karbon melalui perluasan hutan dapat membantu meminimalkan emisi gas rumah kaca. Sistem agroforestri diproyeksikan memiliki banyak potensi penyimpanan karbon dalam bentuk biomassa.

Dengan potensi menyimpan cadangan karbon yang cukup banyak dalam satu wilayah, agroforestasi sangat cocok diterapkan untuk lahan berhutan tanpa harus melakukan deforestasi untuk membangun perkebunan atau pertanian baru.

Petani perkebunan misalnya, dengan sistem agroforestri bisa mengurangi risiko kerugian ekonomi karena cuaca dan iklim atau meminimalisasi serangan hama. Selain mengandalkan hasil perkebunan, tanaman pohon juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan lain.

Agroforestri dengan segala manfaat dan potensinya sangat menjanjikan bagi lingkungan berkelanjutan. Dengan manfaat dari segi lingkungan dan ekonomi yang besar, bukankah agroforestri ini harus mendapat perhatian khusus?