Nationalgeographic.co.id—Ingar bingar Timnas Indonesia yang terus melaju menuju Piala Dunia 2026, tak lepas dari sejumlah pemain naturalisasi. Tak pelak, Indonesia menjadi sorotan publik, terlebih publik dunia.
Di antara sejumlah pemain naturalisasi, kebanyakan memiliki darah keturunan Maluku. Memang, negeri ini punya sejarah kelekatan bilateral di masa kolonial. Lantas, bagaimana histori orang-orang Maluku dengan Belanda?
Setelah Perang Dunia Kedua, Belanda ingin mengembalikan kekuasaannya atas wilayah jajahan mereka di Hindia Belanda. Penduduk asli Indonesia memberontak melawan hal ini di bawah kepemimpinan Soekarno.
Untuk meredam pemberontakan, Belanda mengerahkan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). "Tentara ini sebagian besar dibentuk oleh tentara Maluku," tulis kontributor Historiek dalam artikelnya bertajuk Molukkers in Nederland, terbitan 27 November 2023.
Dalam lanjutannya, menurut laman Historiek, Pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia memandang orang-orang Maluku sebagai kaki tangan bekas penjajah Belanda.
Belanda telah menjanjikan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Maluku, namun jika Belanda tidak menerima dukungan internasional untuk mempertahankan wilayah jajahannya, maka janji tersebut kepada bangsa Maluku tidak dapat ditepati.
Ketika Republik Maluku (RMS) diproklamasikan pada tahun 1950, Tentara Nasional Indonesia berupaya untuk menduduki kembali Maluku, hingga kedudukan orang Maluku di Indonesia yang semakin terpuruk.
Alhasil, empat ribu prajurit KNIL Maluku beserta keluarganya dibawa ke Belanda. Setibanya di sana, para tentara tersebut diberitahu bahwa mereka telah diberhentikan dari dinas militer, sesuatu yang banyak dari mereka menganggapnya sebagai sebuah penghinaan.
Pada tahun-tahun pertama, masyarakat Maluku tinggal di kawasan pemukiman pusat, seperti bekas kamp konsentrasi Westerbork, di mana mereka seringkali berada dalam kondisi yang sulit.
Orang-orang Maluku dikucilkan dari masyarakat dan tidak diperbolehkan bekerja. Toh mereka akan kembali ke Indonesia. Namun, menjadi jelas bahwa Belanda tidak dapat memulangkan orang-orang Maluku sama sekali.
Kondisi mereka memprihatinkan, pun janji kemerdekaan juga belum lagi ditunaikan. Pada gilirannya, orang-orang Maluku Selatan di Belanda menjadi jengah. Mereka memulai serangkaian teror.
Baca Juga: Molukse Wijk, Tempat Penampungan Ribuan Orang Maluku di Belanda
Pada tanggal 3 Maret 1975, dua pemuda Maluku Selatan ditangkap polisi dengan mobil penuh senjata. Mereka berencana menabrak kaki Istana Soestdijk dengan truk sewaan lalu menyandera Ratu Juliana.
Pasca penangkapan warga Maluku Selatan sebelum meluncurkan tindakannya, situasi penyanderaan sang ratu dapat dicegah.
Pada tanggal 2 Desember 1975, tujuh pemuda Maluku Selatan kembali berulah. Mereka membajak kereta lambat antara Groningen dan Zwolle dekat desa Wijster di Drenthe. Sang masinis, Hans Braam langsung ditembak mati.
Pada saat yang sama, Konsulat Indonesia di Amsterdam sedang ditempati. Tuntutan mereka untuk melibatkan Indonesia dalam konflik Maluku dipenuhi. Di Wijster, beberapa sandera yang dibebaskan menerima surat berisi tuntutan para pembajak.
Mereka meminta bus wisata. Mereka juga menuntut agar pesawat disiapkan di Schiphol. Jika permintaan ini tidak dipenuhi dalam waktu dua jam, para sandera menembak mati tentara Leo Bulter.
Dua hari kemudian, seorang ekonom muda, Bert Bierling terbunuh. Jenazah para korban dilempar dari kereta dan didiamkan selama beberapa hari sebelum para sandera mengizinkan mereka untuk dipindahkan.
Sementara itu, pemerintah Belanda tidak berdaya. Menteri Kehakiman Van Agt tidak menerima dukungan atas rencana militernya. Pemerintah Belanda berusaha untuk menunda negosiasi sebanyak mungkin agar tidak melibat banyak korban.
Pada tahun 1976, setelah sejumlah teror berhasil diredam, para penyandera dijatuhi hukuman empat belas tahun penjara.
Pada tanggal 23 Mei 1977 pukul 9 pagi, perjalanan antarkota dari Assen ke Groningen dibajak oleh sembilan pemuda Maluku Selatan di dekat desa De Punt di Drenthe. Pihak Maluku segera melepaskan sopir, kondektur, dan 40 pemudik.
45 pelancong lainnya disandera. Pada saat yang sama, 105 anak dan lima guru disandera di sebuah sekolah dasar di Bovensmilde. Kali ini para penyandera menuntut agar pemerintah Belanda berkomitmen pada Republik Maluku Selatan yang merdeka.
Mereka juga menuntut pembebasan 21 tahanan asal Maluku Selatan. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebelum tanggal 25 Mei pukul 14.00, mereka akan meledakkan kereta dan sekolah.
Kali ini pun, pemerintah Belanda tidak akan menanggapi tuntutan tersebut. Mereka ingin semua anak dibebaskan terlebih dahulu. Juga akan ada pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 Mei.
Perdana Menteri Den Uyl memutuskan untuk menghentikan kampanye pemilu, namun pemilu akan tetap berjalan seperti biasa. "Beberapa lusin orang tidak boleh mengalihkan kita dari tatanan demokrasi parlementer yang menjadi landasan pemilu." kata Den Uyl.
Ketika ultimatum berakhir, para penyandera meminta keluar gratis dengan pesawat dari Schiphol, bersama dengan 21 tahanan, lima penyandera dan lima guru. Pemerintah Belanda juga tidak menanggapi ultimatum tersebut.
Ketika anak-anak di sekolah tersebut jatuh sakit, para penyandera melepaskan anak-anak tersebut dan menahan kelima guru tersebut.
Pada tanggal 11 Juni 1977, ketika pembajakan berlangsung hampir tiga minggu, Marinir melepaskan tembakan ke kereta, dibantu oleh enam pesawat tempur bintang.
Operasi tersebut menewaskan dua sandera dan enam pembajak. Pelancong yang tersisa dibebaskan. Para penyandera di sekolah dasar secara sukarela menyerah setelah sekolah tersebut diserang dengan mobil lapis baja.
Pada 13 Maret 1978, tiga warga Maluku Selatan menyerbu gedung pemerintahan provinsi di Assen. Mereka menyandera 16 wanita dan 55 pria. Para penyandera menuntut pembebasan 21 tahanan asal Maluku Selatan dan keluar bebas dengan pesawat.
Satu jam setelah penyanderaan, korban pertama jatuh, yang penuh peluru di depan jendela. Seorang fotografer dan ambulans juga ditembak. Alhasil, tak lama setelah ultimatum, marinir dikerahkan untuk menyerbu gedung tersebut.
Setelah baku tembak, para penyandera menyerah. Dalam baku tembak itu, seorang anggota CDA terluka dan meninggal karena luka-lukanya. Para penyandera semuanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Penyanderaan ini menempatkan masyarakat Maluku dalam posisi yang semakin buruk. Banyak anak muda Maluku yang sedang belajar dan menggunakan transportasi umum, mendapat diskriminasi.
Ya, setelah pembajakan kereta api, mereka mendapat diskriminasi yang sangat besar. Kadang-kadang para penumpang Belanda bahkan sampai mengeluarkan orang Indonesia dan orang Maluku dari kereta api.
Kini, 30 tahun kemudian, masyarakat Maluku dipandang sebagai contoh integrasi yang dapat dicontoh. Banyak perkawinan yang diakhiri dengan orang Belanda dan mereka hidup bersama dengan penduduk Belanda.
Sampai yang menjadi tren belakangan, federasi sepak bola PSSI masih gencar untuk memulangkan kembali para pemain berdarah Indonesia dari Belanda. Terbaru, Kevin Diks menjadi naturalisasi yang miliki marga Ambon, Bakarbessy.