Nationalgeographic.co.id—Selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, manusia dari berbagai etnis dipamerkan di Eropa. Bak kebun binatang, pameran ini populer di Barat, terutama di Inggris, Prancis, dan Jerman.
Popularitas “kebun binatang manusia” ini meningkat karena mereka memamerkan orang-orang ‘eksotis’ dari berbagai belahan dunia. Tentu saja, pameran ini sangat menarik bagi masyarakat pada masa itu.
Bagaimana asal-usul praktik rasisme yang memalukan dalam sejarah dunia itu?
Asal mula “kebun binatang manusia”, sebuah kisah pilu dalam sejarah dunia
Kebun binatang manusia merupakan fenomena baru di abad ke-19 dan 20. Namun akarnya dapat ditelusuri lebih jauh dan dimulai dengan pameran artistik orang-orang eksotis dari kerajaan lain.
Misalnya di makam firaun Dinasti Kesembilan Belas Seti I di Mesir. Di makam itu terdapat mural yang menggambarkan empat ras berbeda di dunia, yaitu Mesir, Libya, Asia, dan Nubia.
Pameran orang asing ini juga terlihat dalam seni Kekaisaran Achaemenid. Di Persepolis, semua orang yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran digambarkan dalam relief. Relief tersebut menghiasi Tangga Utara dan Timur Apadana.
“Rakyat kekaisaran ditampilkan membawa upeti kepada raja Achaemenid,” tulis Wu Mingren di laman Ancient Origins.
Pameran tawanan asing dalam sejarah dunia
Pameran artistik kemudian berkembang menjadi pameran nyata saat tawanan asing diarak keliling oleh jenderal Romawi. Hal ini dilakukan setelah mereka memenangkan pertempuran dengan pihak asing.
Arak-arak dan pameran ini dimaksudkan untuk menunjukkan kemenangan Romawi atas musuh-musuhnya. Selain itu juga untuk menarik rasa ingin tahu rakyat yang ingin melihat “orang-orang aneh” dari negeri lain ini.
Baca Juga: Apakah Ras Raksasa Benar-Benar Ada dalam Sejarah Dunia Kuno?
Beberapa tawanan paling terkenal yang diarak selama kemenangan Romawi termasuk anak-anak Mark Antony dan Cleopatra. Mereka adalah Cleopatra Selene II, Alexander Helios, dan Ptolemy Philadelphus.
Selain itu, ada juga Caractacus, seorang kepala suku Inggris yang berperang melawan Romawi. Serta Vercingetorix, pemimpin Galia yang dikalahkan oleh Julius Caesar.
Bagaimana “kebun binatang manusia” berkembang?
Selama Zaman Penjelajahan, penjelajah Spanyol dan Portugis sering kali membawa pulang tanaman, hewan, dan bahkan orang asing. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa pelayaran mereka berhasil.
Namun, pameran hasil-hasil penjelajahan dan pelayaran hanya dapat diakses oleh kalangan elite. Pasalnya, tanaman hingga orang asing itu hanya dipamerkan di istana kerajaan.
Selama abad ke-17 dan ke-18, memiliki pelayan yang bukan keturunan Eropa merupakan tanda kekayaan bangsawan Eropa. Sekali lagi, hanya kalangan elite yang berhubungan dengan orang asing yang 'eksotis' ini.
Hal-hal berubah pada awal abad ke-19. Antara tahun 1810 dan 1815, seorang wanita Afrika Selatan bernama Saartjie Baartman (Venus Hottentot) dipamerkan di London dan Paris. Ia menjadi bagian dari 'pertunjukan aneh'.
Pameran tersebut adalah contoh modern pertama di mana seorang individu asing dipamerkan untuk hiburan masyarakat Eropa. Pameran ini menjadi cikal bakal kebun binatang manusia, yang disebut 'pameran etnologis'.
Selama paruh pertama abad ke-19, orang-orang asing seperti Baartman dipamerkan di berbagai pameran dan karnaval. Semua pameran dan karnaval tersebut juga menampilkan berbagai ‘pertunjukan aneh’ lainnya.
Selama periode ini, penekanan diberikan pada perbedaan antara orang asing dan masyarakat Eropa. Perbedaan antara ‘normal’ dan ‘abnormal’ digantikan oleh perbedaan antara ‘beradab’ dan ‘biadab’ selama paruh kedua abad tersebut.
Semua ini merupakan imbas dari Imperialisme Baru. Neo-imperialisme, adalah gelombang penjajahan dan imperialisme yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kisah Mencekam Paus Sperma yang Menginspirasi Moby Dick
Kekuatan-kekuatan Eropa mulai membangun koloni di seluruh dunia, terutama di Afrika. Saat itu, ada keinginan yang tumbuh untuk memamerkan orang-orang yang ditaklukkan. Konon orang-orang taklukan ini dianggap kurang beradab daripada mereka sendiri.
Pemerintah Eropa lebih dari siap untuk memuaskan permintaan ini. Bahkan desa-desa asli ditampilkan di sebagian besar pameran yang diadakan selama periode tersebut.
Namun, pameran orang asing yang ‘biadab’ di kebun binatang manusia tidak terbatas di Eropa saja. Di Amerika Serikat, misalnya, Pameran Dunia St. Louis yang diadakan pada tahun 1904 memamerkan sejumlah 'pameran hidup'. Termasuk lebih dari 1.000 orang Filipina dari belasan suku yang ditempatkan di desa-desa yang direka ulang.
Di Jepang, sebuah pameran orang Korea, yang digambarkan sebagai kanibal, diselenggarakan pada tahun 1903. “7 tahun sebelum penjajahan Jepang di Korea,” ungkap Mingren.
Kebun binatang manusia mulai kehilangan popularitasnya seiring berjalannya abad ke-20. Salah satu contoh terakhir dari fenomena ini terjadi pada tahun 1958, di Pameran Dunia di Brussels. Di pameran tersebut Desa Kongo ditampilkan.
Menjelang akhir keberadaannya, kebun binatang manusia dikritik sebagai sesuatu yang merendahkan martabat, rasis, dan tidak etis. Namun, kritik-kritik ini tampaknya tidak membuat fenomena ini kehilangan daya tariknya. Sebaliknya, kemunculan film-film menarik massa menjauh dari kebun binatang ini untuk kemudian beralih ke bioskop.