Legenda Kawah Ulumbu dan Panasnya yang Bermanfaat bagi Para Ibu

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 30 November 2024 | 08:00 WIB
Dua orang ibu berjalan melewati pinggir Kawah Ulumbu di Desa Wewo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Keberadaan kawah merupakan salah satu pertanda adanya sumber panas bumi di bawahnya. Kawah Ulumbu, contohnya. Kini ada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang beroperasi di dekat kawah tersebut. Kawah Ulumbu dan PLTP Ulumbu yang berkapasitas 10 MW itu berlokasi di Desa Wewo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Ada legenda unik mengenai asal-usul kawah panas tersebut. Menurut cerita rakyat, dahulu Ulumbu adalah sebuah kampung yang dihuni ratusan orang. Suatu hari, hampir semua warganya meninggalkan kampung untuk menanami kebun baru. Hanya tersisa seorang perempuan tua buta, seorang perempuan tua lumpuh, dan seekor anjing piaran.

Saat hendak menanak nasi menggunakan kayu bakar, si buta tak punya api. Ia meminta api kepada tetangganya, si lumpuh. Si lumpuh punya api, tetapi tak bisa mengantarkannya. Ide unik muncul di kepala si lumpuh. Dia mengikatkan puntung api pada ekor anjing. Selanjutnya si buta memanggil anjing itu. Anjing pun datang berlari-lari, dengan api menyala-nyala pada ekornya.

Tindakan kejam manusia terhadap makhluk hidup lainnya itu mendatangkan murka alam. Penguasa alam datang dan mendekati si buta yang sedang menanak nasi. Ia melontarkan satu pertanyaan tentang hasil tanakan yang diinginkan: mbelek (lunak) atau kar (keras)?

Si buta menjawab mbelek dan jawaban itulah yang membuat Ulumbu menjadi lunak berlumpur mendidih seperti tanakan nasi matang yang kebanyakan air. Bersamaan dengan itu, kampung pun lenyap seketika. Rumah-rumah warga berubah jadi bebatuan panas nan gersang.

Meski legenda itu tragis, sisa panas dari kawasan Ulumbu berbuah berkah bagi warga sekitar. Warga Desa Wewo, misalnya, telah memanfaatkan listrik dari energi panas bumi Ulumbu selama lebih dari 12 tahun, sejak PLTP Ulumbu beroperasi.

Di bawah cahaya lampu, Cornelia Rendut (kiri), seorang warga Desa Wewo, sedang mengikuti misa lansia. Setiap Minggu sore, suster dari paroki terdekat di Kabupaten Manggarai mengunjungi setiap rumah yang dihuni oleh lansia untuk pemberkatan hosti. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Kini, banyak warga di Wewo tak perlu lagi menanak nasi menggunakan kayu bakar seperti si buta di Kampung Ulumbu. Dengan adanya listrik stabil dari PLTP Ulumbu, warga bisa menggunakan alat penanak nasi elektronik.

Irenelis Nurti, seorang ibu rumah tangga di Wewo, misalnya, telah terbiasa memanfaatkan aliran listrik stabil di rumahnya untuk penggunaan kulkas, teko listrik, setrika, dispenser, seta lampu, selain juga penanak nasi elektronik.

“Enak pakai beginian,” katanya saat dijumpai di rumahnya akhir September lalu. “Tinggal pencet, nasi bisa matang dalam 15 menit.” Minim risiko kebakaran, tak ada asap polusi dari kayu bakar.

Veronika Mulia, seorang petani cengkih sekligus ibu rumah tangga di Desa Wewo, mengaku bersyukur bisa menggunakan peralatan elektronik rumah berkat adanya listrik dari energi panas bumi. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Mengapa Energi Panas Bumi di Flores Ramah Lingkungan dan Perlu Dimanfaatkan?

Veronika Mulia, seorang ibu lainnya yang sehari-hari bekerja sebagai petani cengkih di Desa Wewo, juga mengaku senang dengan adanya sambungan listrik ke rumahnya. “Untuk masak nasi,” ujarnya.

Sebelum menggunakan penanak nasi elektronik, Veronika terpaksa harus terbiasa menghirup asap kayu bakar. “Pakai kayu buat tungku api itu,” katanya.

Selain penanak nasi, alat elektronik lainnya yang juga terpasang di rumah Veronika adalah lampu dan televisi. “Cuma setrika tidak ada,” imbuhnya.

Kepala Desa Wewo, Laurensius Langgut, mengenang masa-masa sebelum beroperasinya PLTP Ulumbu. Aliran listrik ke Desa Wewo sangatlah terbatas. “Itu tahun 90 baru ada listrik [ke Wewo], itu pun diambil dari Ruteng. Itu tetap pakai jatah dia, istilah satu hari nyala, satu hari dia padam,” tutur Laurensius.

Kepala Desa Wewo, Laurensius Langgut, sedang beraktivitas di meja kerjanya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Kala itu, listrik di Wewo sering kali hanya menyala saat sore hingga pukul 9 malam. “Kalau malam kami hanya bisa sampai jam 9 malam. Karena selebihnya tidak bisa untuk berkerumun karena sudah tidak ada lampu. Jadi cepat tidur,” kenang Laurensius. “Tapi sekarang dengan adanya listrik [24 jam] ini kita bisa tidur sampai jam 10, 11.”

Laurensius bersyukur, “Setelah 2012 ke atas, karena dimanfaatkannya panas bumi ini, jadi hampir sudah tidak ada itu istilah padam, mati-hidup itu tidak. Itu pun kalau mati ya mungkin hanya satu jam.”