Jürg Füssler, seorang ahli yang sebelumnya menjadi anggota panel penasihat ahli ICVCM (Iniciative for Carbon-free Economy), menyebut, "Proyek-proyek ini sangat penting jika dilakukan dengan cara yang benar."
Namun, Füssler dan rekan-rekannya yang lain, termasuk Lambert Schneider yang juga mengundurkan diri dari panel ahli ICVCM, menggarisbawahi sejumlah kelemahan serius dalam metodologi yang saat ini digunakan.
Salah satu masalah utama terletak pada perhitungan garis dasar, yaitu tingkat deforestasi yang digunakan sebagai acuan untuk menilai keberhasilan suatu proyek.
Jika tingkat deforestasi dalam proyek tersebut lebih rendah dari garis dasar, maka proyek tersebut dianggap berhasil dan berhak menerbitkan kredit karbon.
Sayangnya, metode perhitungan garis dasar yang baru-baru ini disetujui oleh Verra (registri karbon terbesar dunia) dan program ART, justru menimbulkan kekhawatiran.
Ketiga metodologi tersebut sama-sama menggunakan data deforestasi beberapa tahun sebelum proyek dimulai sebagai dasar perhitungan.
Penggunaan data historis ini rentan terhadap berbagai bias dan ketidakpastian, sehingga dapat menghasilkan perkiraan garis dasar yang tidak akurat.
Akibatnya, proyek-proyek yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi karbon, justru dapat memperoleh kredit karbon dalam jumlah yang cukup besar.
Potensi inflasi kredit
Salah satu kekhawatiran utama terkait dengan mekanisme kredit karbon tersebut adalah potensi terjadinya inflasi kredit.
Jika suatu negara berhasil mengurangi laju deforestasi secara signifikan melalui kebijakan pemerintah yang lebih ketat, pengembang proyek berpotensi menjual sejumlah besar kredit karbon, bahkan tanpa adanya proyek konservasi tambahan.
Baca Juga: Bagaimana Pulau di Filipina 'Lolos' dari Ancaman Tenggelam Berkat Ekosistem Karbon Biru?