Nationalgeographic.co.id—Philopoemen adalah seorang jenderal besar dari Liga Akhaia yang berasal dari Megalopolis, Yunani kuno. Ia mungkin adalah jenderal paling sukses di masanya, bahkan bersanding dengan nama besar Alexander Agung, Philip dari Makedonia, Themistocles, Leonidas, hingga Pyrrhus dari Epirus.
Selama hidupnya antara 253 SM dan 183 SM, ia menaklukkan Sparta dan menjadikan Liga Akhaia menjadi kekuatan terdepan di Peloponnesos.
Menurut Plutarch, sumber sastra utama tentang Philopoemen, orang-orang Romawi menyebutnya sebagai jenderal besar Yunani kuno terakhir. Julukan tersebut menyiratkan bahwa Yunani kuno tidak memiliki orang hebat yang sebanding dengan Philopoemen setelahnya atau orang yang layak menggantikannya.
Kehidupan Awal
Philopoemen lahir di polis (kota) Yunani kuno, Megalopolis, pada tahun 253 SM. Ayahnya, Craugis, adalah tokoh terkemuka di kota itu, tetapi ia meninggal saat Philopoemen masih kecil.
Cleander, seorang teman Craugis yang telah diasingkan dari Mantineia, kemudian mengasuhnya.
Megalopolis, tempat Philopoemen tumbuh, adalah sebuah kota di wilayah Arkadia di Peloponnesus. Kota itu merupakan negara anggota Liga Akhaia.
Kekaisaran Alexander Agung telah pecah sebelum Philopoemen lahir, tetapi Makedonia masih merupakan kekuatan terdepan di Yunani Utara dan juga memiliki pengaruh di selatan.
Para filsuf Ecdemus dan Megalophanes ditugaskan untuk mendidik Philopoemen. Kedua pria yang juga berasal dari Megalopolis itu telah membantu menggulingkan para tiran Aristodemus dan Nicoles.
Dengan demikian, prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi diajarkan kepada Philopoemen sejak usia muda.
Philopoemen menunjukkan kecakapan, sehingga ia dihormati oleh orang-orang Yunani kuno sejak usia muda. Menurut Plutarch, "karakter anak laki-laki itu terbentuk sejak awal dan tumbuh menjadi seorang bangsawan dan raja."
Baca Juga: Phocion, Tokoh Yunani Kuno yang Terpilih 45 Kali Menjadi Jenderal
Plutarch juga menceritakan bagaimana sejak masa kecilnya Philopoemen menyukai kehidupan seorang prajurit, dan dengan mudah mempelajari pelajaran yang berkaitan dengan hal itu. Seperti pelajaran dalam pertempuran bersenjata berat dan menunggang kuda.
Selama masa mudanya, Philopoemen juga seorang pegulat yang ulung. Teman-teman dan mentornya mendorongnya untuk menekuni atletik tetapi ia menjauhi gaya hidup seorang atlet demi militer.
Philopoemen mempertahankan Megalopolis dari Spartan
Pada tahun 223 SM, Raja Cleomenes III dari Sparta menyerang Megalopolis. Spartan menyerang pada malam hari dan berhasil masuk ke kota tempat mereka menduduki pasar.
Philopoemen, yang saat itu berusia tiga puluh tahun, segera bertindak. Plutarch menceritakan bagaimana ia "datang untuk menolong warga, tetapi tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengusir musuh, meskipun ia bertempur dengan penuh semangat dan keberanian."
Meskipun demikian, ia berhasil mengevakuasi warga lainnya. Philopoemen mengalihkan perhatian orang Sparta dengan sebuah serangan yang memberi cukup waktu bagi orang Megalopolis untuk melarikan diri.
Ia terluka dan kehilangan kudanya tetapi juga berhasil melarikan diri ke kota Messene.
Diplomasi yang tidak mudah dengan orang Makedonia
Pertempuran di Megalopolis bukanlah pertemuan terakhir Philopoemen dengan pasukan Sparta. Raja Antigonus III Doson dari Makedonia menjalin aliansi dengan Liga Akhaia, Boeotia, Thessalia, dan Akarnania.
Liga Akhaia sebenarnya khawatir terhadap pengaruh Makedonia. Sebelumnya, mereka telah membuat perjanjian dengan Ptolemaios II dari Mesir untuk mendapatkan dukungan finansial dalam menggulingkan para tiran lokal yang didukung oleh dinasti Antigonid dari Makedonia.
Meskipun begitu, bekerja sama dengan Makedonia dianggap lebih baik daripada ditaklukkan oleh Sparta. Setelah Megalopolis jatuh, Philopoemen mendorong warga kota itu untuk menolak perjanjian damai yang ditawarkan Raja Cleomenes, sehingga menjadikan aliansi dengan Makedonia sebagai pilihan yang tidak bisa dihindari
Pertempuran Sellasia
Pada musim panas tahun 222 SM, pasukan gabungan Makedonia, Liga Akhaia, dan sekutu Yunani lainnya bergerak melawan pasukan Sparta di Sellasia, di perbatasan utara Laconia.
Philopoemen berada di salah satu sayap pasukan, bersama kavaleri Makedonia dan Akhaia. Sayap ini juga didukung oleh pasukan Illyria, yang mengisi celah antara infanteri utama dan kavaleri di sayap tersebut.
Rencananya, sayap ini akan tetap berada di posisi cadangan hingga Antigonus memberi sinyal dari sayap lain untuk maju. Namun, pasukan Illyria, yang terlalu bersemangat, tidak mengikuti perintah dan langsung menyerang pasukan Sparta.
Eucleidas, saudara Raja Cleomenes, melihat kesalahan ini dan memerintahkan pasukan infanteri ringan Sparta untuk menyerang pasukan Illyria, yang tidak terlindungi oleh kavaleri Makedonia dan Akhaia.
Pasukan Illyria segera berada dalam bahaya besar. Ketika menyadari pasukan Sparta hampir memusnahkan mereka, Philopoemen meminta para komandan Makedonia untuk membantu, tetapi mereka tidak menanggapi.
Akhirnya, Philopoemen mengambil inisiatif sendiri. Ia mengatur pasukan Akhaia menjadi formasi baji dan memimpin serangan langsung ke musuh.
Serangan itu berhasil menyelamatkan pasukan Illyria dari kehancuran. Philopoemen sebenarnya ingin melanjutkan serangan, tetapi medan yang sulit memaksanya turun dari kuda.
Saat berjalan kaki, ia terkena lembing yang menembus kedua pahanya. Meskipun lukanya serius, nyawanya selamat, tetapi ia terjatuh di tengah medan perang.
Namun, Philopoemen tidak menyerah. Ia mencabut lembing itu dengan susah payah dan maju kembali ke garis depan.
Menurut Plutarch, “ia menghunus pedangnya dan menerobos barisan musuh, membangkitkan semangat pasukannya dan menginspirasi mereka untuk meniru keberaniannya.”
Pertempuran ini dimenangkan, sebagian besar berkat tindakan heroik Philopoemen. Keberaniannya membuat Raja Antigonus dari Makedonia sangat menghormatinya.
Antigonus bahkan menawarkan posisi kepadanya, tetapi Philopoemen menolak karena tidak ingin berada di bawah komando orang lain lagi.
Tahun-Tahun Terakhir dan Kematian
Pada usia 70 tahun, Philopoemen diangkat menjadi strategos (pemimpin militer) Liga Akhaia untuk kedelapan kalinya, sekaligus yang terakhir.
Di usianya yang telah lanjut, ia berharap masa jabatannya dapat dilewati tanpa peperangan, sehingga ia bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan damai dan tenang.
Namun, takdir berkata lain. Seorang anggota Liga Akhaia bernama Deinocrates dari Messene memprovokasi Messene untuk memberontak melawan Liga. Deinocrates kemudian memimpin pasukan untuk merebut desa Colonis.
Saat itu, Philopoemen sedang sakit demam di Argos. Meskipun kondisinya lemah, ia tetap memimpin pasukannya untuk menghadapi Deinocrates. Keduanya bertemu di Bukit Evander.
Dalam pertempuran, kavaleri Philopoemen tiba-tiba diserang dalam posisi yang tidak menguntungkan. Khawatir akan keselamatan pasukannya, ia berulang kali keluar dari garis pertahanan untuk mengusir musuh yang terus menyerang mereka dengan lembing.
Namun, kudanya terjatuh, membuat Philopoemen jatuh pingsan dan akhirnya ditangkap oleh musuh.
Philopoemen dipenjara di Messene, dan di sana ia dipaksa untuk meminum racun oleh para penawannya.
Menurut Plutarch, sebelum meminum racun, Philopoemen bertanya kepada orang yang membawanya apakah pasukan kavaleri yang ia pimpin berhasil selamat.
Orang itu menjawab bahwa sebagian besar dari mereka berhasil bertahan hidup. Mendengar kabar itu, Philopoemen merasa lega dan berkata, “Itu kabar baik, bawah kita belum sepenuhnya kalah.” Ia kemudian dengan tenang meminum racun tersebut dan meninggal.