Nationalgeographic.co.id—Kura-kura rote atau kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi) adalah satu dari 25 spesies kura-kura yang paling terancam di dunia. Kura-kura rote merupakan kura-kura endemik Indonesia.
Kini, sang kura-kura menghadapi ancaman kepunahan serius. Penyebabnya antara lain populasinya di alam sangat kecil, habitat alaminya hampir habis, serta belum ada manajemen untuk pengelolaan spesies tersebut.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kayat, mengatakan bahwa sejak 2009, upaya penangkaran telah dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu keberhasilan yang dicapai adalah peningkatan reproduksi kura-kura dalam penangkaran.
“Spesies ini memiliki potensi reproduksi tinggi dengan jumlah telur mencapai 5 hingga 20 butir sekali bertelur, serta memiliki daya tetas telur mencapai 100 persen," jelas Kayat, dalam Sharing Session Applied Summer School #14 pada bulan lalu.
"Ini jauh lebih banyak dibandingkan kura-kura spesies lain,” ujarnya seperti dikutip dari laman BRIN.
Kayat menjelaskan, setiap induk betina kura-kura rote dapat bertelur hingga tiga kali, bahkan ada yang enam kali, per tahun. Namun, tingkat kelangsungan hidup tukik atau anak kura-kura rote masih di bawah 50 persen karena berbagai faktor, termasuk serangan penyakit.
Untuk itu, penelitian intensif dilakukan guna meningkatkan kesehatan anakan, terutama pada usia 0 hingga 3 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan, kura-kura rote yang dilepasliarkan pada usia empat tahun memiliki peluang bertahan lebih besar dibandingkan yang dilepas pada usia lebih muda. “Hal ini menjadi pedoman dalam program reintroduksi kura-kura ke habitat aslinya,” tambah Kayat.
Kayat juga menegaskan, pelibatan masyarakat menjadi kunci dalam konservasi kura-kura leher ular rote ini. Sebab, ebagian besar habitat kura-kura rote berada di lahan milik masyarakat, bukan di kawasan konservasi resmi.
Pendekatan berbasis partisipasi masyarakat perlu dilakukan, seperti menetapkan beberapa danau sebagai kawasan perlindungan lokal.
Baca Juga: Betina Terakhir Mati, Spesies Kura-Kura Air Tawar Terbesar akan Punah
“Kami juga mengupayakan restorasi vegetasi di sekitar danau untuk menjaga kelestarian habitat. Selain itu, masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan habitat kura-kura,” terang Kayat.
Potensi ekonomi dari konservasi kura-kura leher ular rote, menurutnya, juga dapat menjadi daya tarik masyarakat. “Dengan strategi ini, kami berharap masyarakat dapat melihat konservasi bukan hanya sebagai tanggung jawab, tetapi juga peluang ekonomi,” harapnya.
Kayat menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah baik pusat maupun daerah, peneliti, dan masyarakat. Dia optimistis melalui pendekatan ilmiah dan kolaborasi aktif, populasi kura-kura rote dapat dipulihkan.
“Semoga kura-kura rote yang kini hampir punah dapat kembali menjadi bagian penting dari ekosistem Pulau Rote. Generasi mendatang harus punya kesempatan melihat spesies ini hidup di alam liar,” ujar Kayat.
Kura-Kura Rote Pernah Melimpah
Kura-kura rote pertama kali diidentifikasi sebagai spesies baru pada 1994. Sebelumnya, spesies ini dianggap sama dengan kura-kura leher ular Papua.
Pada dekade 1970 hingga 1990-an, populasi kura-kura leher ular rote masih melimpah. Kura-kura rote sering ditemukan oleh petani saat membajak sawah. Namun, populasi mereka mulai menyusut drastis akibat perburuan liar dan perusakan habitat.
“Pada 2005, penjualan kura-kura rote terakhir kali tercatat, dan sejak itu spesies ini dinyatakan punah secara de facto di alam liar,” bebernya.
Meski demikian, pemerintah baru memberikan perlindungan resmi pada 2018 melalui Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Selain itu, peran dari Species Specialist Group (SSG) sangat penting untuk menilai dan mengambil keputusan status spesies.
Habitat asli kura-kura rote yang berupa persawahan dan danau alami terus menyusut. Dari 33 lokasi habitat historis, hanya tiga danau yang masih layak dihuni, yaitu Danau Ledulu, Danau Lendeoen, dan Danau Peto. Semuanya milik masyarakat dan berada di luar kawasan hutan.
Aktivitas pertanian intensif, penggunaan pestisida, dan perubahan fungsi lahan menjadi penyebab utama degradasi habitat.
Ancaman lain berasal dari predator seperti babi hutan dan ikan gabus yang memangsa telur dan anakan kura-kura. Selain itu, masuknya spesies invasif dan limbah beracun di sekitar habitat turut memperburuk kondisi konservasi.
Karena itu, Kayat menegaskan konservasi kura-kura rote menjadi pengingat penting akan tanggung jawab manusia terhadap keberlanjutan keanekaragaman hayati. Dengan dedikasi dan kerja sama, pelestarian kura-kura rote bukanlah hal yang mustahil.