Elemen lain dari gambar tersebut juga terbukti bertahan lama: warna merah pakaian Sinterklas di samping warna hijau pohon Natal. “Saya suka mengatakan bahwa keindahan alam yang dipadukan dengan kekasaran perdaganganlah yang menciptakan Natal berwarna merah dan hijau,” kata Eckstut.
Bukanlah suatu kebetulan bahwa musim-musim memiliki kode warna. Atau bahwa ada cerita serupa di balik warna Hanukkah, putih dan biru. Penelitian Eckstut menunjukkan bahwa manusia secara biologis diprogram untuk ingin belajar dan memahami dunia melalui warna. Kita tahu kapan buah cukup matang untuk dimakan karena warnanya. Kita tahu kapan rumput menjadi terlalu kering karena warnanya. Kita tidak suka makan makanan berwarna biru, karena banyak warna biru di alam terdapat pada tanaman beracun. Jadi, kita juga mendambakan isyarat semacam ini untuk ada di masyarakat, kata Eckstut.
“Warna selalu berfungsi sebagai peta,” katanya. “Secara budaya, kita juga menginginkannya.”
Penjelasan biologis ini mungkin jadi alasan mengapa hijau dan merah membantu menjadikan Natal sebagai salah satu hari raya yang paling dikenal. Juga paling dirayakan di dunia. Kedua warna tersebut secara estetis menyenangkan. “Secara alami, mata Anda tertarik pada buah beri merah yang indah dan daun hijau,” kata Eckstut.
Melihat kembali ke Abad Pertengahan
Namun menurut Dr. Spike Bucklow, ilmuwan di Universitas Cambridge, penggunaan warna merah dan hijau berawal dari gereja-gereja Abad Pertengahan. Gereja-gereja itu kemudian menginspirasi penggunaan warna lain yang terkait di Inggris, yang akhirnya diwariskan kepada kita.
Bucklow menemukan bahwa penggunaan warna merah dan hijau untuk melukis tokoh-tokoh Alkitab sangat umum pada layar kayu. “Layar kayu itu memisahkan bagian tengah dari tempat suci di gereja-gereja tersebut,” tulis Adriana Bello di laman Aleteia.
Namun, alasan pemilihan warna ini belum diketahui secara pasti. Di satu sisi, Bucklow mengatakan bahwa hal itu bisa jadi karena warna-warna tersebut mudah didapat. Di sisi lain, bisa juga karena warna-warna tersebut memiliki makna simbolis yang dikenal pada saat itu. “Mungkin terkait dengan gagasan pemisahan atau batas. Pasalnya layar-layar tersebut digunakan untuk memisahkan area di sekitar altar dari jemaat,” tambah Bucklow. Hal ini bisa jadi diambil sebagai referensi untuk menggunakan warna yang sama untuk Natal, yang menandai pemisahan antara tahun lama dan tahun baru.
Ada juga teori lain yang diajukan beberapa ahli, yang juga mengaitkan penggunaan warna hijau dan merah dengan Abad Pertengahan. Teori tersebut mengaitkannya dengan karya teater keagamaan yang diselenggarakan bagi mereka yang tidak dapat membaca Alkitab. Pertunjukan itu diselenggarakan selama perayaan akhir tahun publik.
Salah satu lakon paling terkenal yang dipentaskan selama perayaan ini adalah lakon yang menggambarkan Adam dan Hawa. Mereka menggunakan pohon cemara (karena musim, pohon lain tidak berdaun) dan apel merah untuk mendramatisasi kisah Alkitab tentang dosa asal.
Saturnalia dalam budaya Romawi kuno
Beberapa peneliti menelusuri lebih jauh ke belakang. Mereka mengatakan bahwa asal mula penggunaan warna-warna musiman ini ditemukan dalam Saturnalia Romawi. Saturnalia adalah perayaan pagan yang berasal dari berabad-abad sebelum Masehi dan terus dirayakan setiap tahun.