Mari Bercerita Tentang Kita, Pangan, dan Kehilangan-Kehilangan

By National Geographic Indonesia, Kamis, 19 Desember 2024 | 15:00 WIB
Potret orang Sasak di Desa Adat Bayan, Lombok. Perkembangan zaman bisa mengubah budaya dan selera masyarakat. Jalan untuk menyelamatkan keragaman dan ketahanan pangan tampaknya masih panjang. Apa yang seharusnya kita lakukan untuk masa depan pangan? (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Pengantar di atas memang menampilkan kasus Pulau Lombok sebagai contoh, tapi fenomena perubahan dan kehilangan itu terjadi di hampir semua suku bangsa di Indonesia. Padahal, Indonesia begitu kaya dengan kearifan pangan.

Di Maluku, terdapat suatu praktek pertukaran kreatif antara orang gunung dan orang pesisir. Setahun sekali, orang gunung akan turun ke pesisir dan orang pesisir harus membuka rumah mereka untuk diinapi oleh orang gunung. Dalam kunjungan tersebut, dua masyarakat saling mengangkat saudara, serta hasil bumi dari masing-masing pihak saling dipertukarkan.

Tahun berikutnya, giliran orang pesisir pergi ke gunung untuk melakukan dan menerima perlakuan yang sama. Pertukaran itu merupakan bagian dari pela: persekutuan dua negeri atau marga, baik melalui hubungan darah atau kontrak sosial-politik. Artinya, pela bukan saja menjaga hubungan sosial, melainkan juga SDA dan keragaman pangan.

Kekayaan dan keragaman pangan itu bahkan tampak di Jawa, salah satu importir beras terbesar ke seluruh bagian nagari nusantara. Orang Jawa, yang identik dengan makan nasi, bahkan menyebut nasi dengan kata sego, yang sesungguhnya merupakan dialek lain dari sagu. Artinya, pada suatu masa, pangan orang Jawa tidak melulu seragam (makan nasi).

Masalah muncul ketika beras berekspansi secara kebudayaan dan secara politik melalui program swasembada beras, dengan anggapan bahwa beras merupakan makanan pokok mayoritas orang Indonesia. Tentu saja klaim itu dapat dipertanyakan, sebab menurut Said Abdullah dalam materi “Menghadirkan Keadilan, Menapaki Keberagaman Untuk Sistem Pangan”, konsumsi beras mulai naik secara konsisten 1,34% per tahun baru sejak tahun 1981, yang dicurigai sebagai bagian dari projek besar Jawaisasi oleh Orde Baru.

Namun, lepas dari kecurigaan itu, program swasembada beras memang menyebabkan petani didesak melalui program BIMAS (bimbingan massal), INMAS (intensifikasi massal) dan INSUS (intensifikasi khusus) untuk menanam padi dengan metode pertanian modern. Sawah harus diperbanyak juga sehingga hutan harus dibuka.

Padahal, daerah-daerah lain memiliki praktek pertanian yang tergolong tertua di Nusantara, yaitu pertanian ladang, yang memungkinkan padi ditanam di sela-sela pohon di hutan pinggiran atau di ceruk-ceruk bukit. Pendekatan tradisional itu harus ditinggalkan karena dianggap tidak bisa mengejar tuntutan swasembada beras.

Sesungguhnya, padi ladang lebih dapat menjamin dan menjaga keragaman pangan. Orang Papua bahkan menjalankan pertanian ladang sejak sepuluh ribu tahun yang lalu, dan membuktikan pertanian ladang lebih berkelanjutan. Hari ini, wilayah luar Jawa yang tidak cocok ditanami padi dipaksa menanam padi: Papua, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya. Padahal, padi dasarnya adalah tanaman manja, berbeda dengan sagu yang lebih tahan terhadap perubahan cuaca dan tidak perlu dirawat terlalu intens.

Dominasi beras bukan saja mengancam keragaman pangan, melainkan juga keragaman budaya pangan itu sendiri. Umumnya, orang Dayak di Kalimantan Tengah bertani ladang dengan sistem sawah bergilir. Melalui ritual sakral yang mencerminkan spiritualitas, kebijaksanaan, dan komitmen moral, orang Dayak membuka hutan dengan cara menebang dan membakar sepetak lahan untuk ditanami secara kolektif sepanjang 3-5 tahun.

Setelah itu, tanah dianggap “mulai lelah” sehingga mereka menanami lahan itu dengan bibit-bibit pohon hutan kemudian berkelana ke bagian hutan lain untuk mengulangi proses yang sama. Puluhan tahun kemudian mereka akan kembali ke lahan pertama yang mereka bakar tadi dan menemukannya sudah menjadi hutan. Dengan cara itu, alam dan keanekaragaman hayati di dalamnya ikut terjaga terjadi, yang pada gilirannya keragaman dan ketahanan pangan ikut terjamin, seturut dengan agama, budaya, dan adat. Kini, orang Dayak Kalimantan Tengah dilarang membuka hutan dengan cara membakar.

Di laut, soal keragaman dan ketahanan pangan dapat dipantik dengan satu pertanyaan: bagaimana proses hilangnya pengetahuan lokal tentang pangan laut?

Di darat, yang masyarakatnya berkebudayaan tani, pengetahuan lokal tentang pangan hilang karena praktek perampasan tanah, alih fungsi lahan, dan pertanian monokultur. Hilang satu petak, hilang satu pengetahuan.