Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam

By Ade S, Rabu, 25 Desember 2024 | 14:03 WIB
Ilustrasi budaya pangan nusantara. (Juan Anatama/pexels)

Namun, seiring dengan perubahan gaya hidup, banyak orang yang mulai meninggalkan makanan tradisional. "Tapi, dengan alasan kesehatan, bukan berarti kita melarang orang makan ketupat, lalu menggantinya dengan oat," tegas Khoirul. Ketupat, sebagai simbol permintaan maaf saat Lebaran, memiliki nilai budaya yang tak tergantikan.

Roby menambahkan, "Apa yang diberikan oleh alam sudah sesuai dengan gaya hidup dan gaya makan masyarakatnya." Sayur pakis, misalnya, kaya akan kalium dan baik untuk menurunkan tekanan darah. Masalah kesehatan sering muncul ketika pola makan tradisional tidak lagi sesuai dengan gaya hidup modern.

Kearifan lokal dalam budaya pangan

Budaya pangan setiap etnis menyimpan nilai-nilai kearifan yang unik. Misalnya, kebiasaan masyarakat Yogyakarta menikmati teh poci hangat di sore hari mencerminkan filosofi istirahat setelah bekerja. Begitu pula rendang, yang melambangkan kasih sayang orang tua kepada anak rantau.

Tradisi makan bersama seperti Bajamba di Sumatera Barat mengajarkan pentingnya kebersamaan dan menghindari pemborosan. "Makanan itu tidak salah," tegas Khoirul dari Universitas Sahid. Masalahnya bukan pada makanan, melainkan pada porsi yang kita konsumsi.

Untuk menjaga kesehatan dan menghindari pemborosan, berbagai etnis memiliki tradisi puasa seperti puasa Senin-Kamis. "Kalau mau sehat, kita harus punya kesadaran untuk mengendalikan cara makan. Itulah kenapa portioning menjadi penting," ujar Khoirul.

Kembali ke selera asal

Makanan tradisional kini semakin populer di kalangan masyarakat urban. Dulu, makanan cepat saji identik dengan gaya hidup perkotaan. Namun, kini orang-orang justru tertarik untuk mengeksplorasi cita rasa lokal.

"Orang Indonesia suka mengeksplorasi rasa," ungkap Tama. "Seiring zaman orang yang tumbuh besar di wilayah urban ingin mencicipi makanan tradisional. Kebalikan dari masyarakat di wilayah rural yang ingin mencoba makanan urban."

Roby menambahkan, makanan adalah cara terbaik untuk mengenal budaya suatu daerah. Misalnya, untuk mengenal Yogyakarta, kita bisa mencicipi gudeg.

"Di satu titik orang tetap punya involuntary memory," kata Roby. "Misalnya, orang Manado punya memori makan di rumah saat ia kecil. Menunya ada ikan woku, sambal dabu-dabu, dan lalampa. Di tempatnya yang baru dia akan berkumpul di lingkungan yang sama, mencari memori masa kecil dia."

Fenomena ini bukan hal baru. Bahkan sejak Konferensi Meja Bundar, makanan Nusantara sudah disajikan untuk tamu negara. Namun, pada era '70-an hingga '90-an, makanan cepat saji mendominasi. Setelah reformasi, minat terhadap makanan Nusantara kembali meningkat.

"Banyak restoran fine dining kini menyajikan makanan Nusantara," kata Roby. "Itulah yang mungkin membuat orang seperti baru melihat bahwa makanan tradisional sudah masuk fine dining. Padahal, sebenarnya dari dulu sudah ada tempatnya di kelas high end."

Pangan lokal: Kembali ke akar untuk masa depan

Tama menekankan pentingnya menggabungkan pola makan sehat dengan pangan lokal untuk mencapai keberlanjutan pangan. Menurutnya, mengurangi jarak distribusi makanan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai contoh, "Seandainya beras tidak tersedia di Nusa Tenggara, kenapa masyarakat Nusa Tenggara harus membeli beras dari Jawa?"

Roby mengingatkan kita bahwa kebiasaan makan nasi di Indonesia sebenarnya dipengaruhi oleh faktor politik. "Daripada susah-susah menanam jewawut, talas, ubi, singkong, atau gembili, isi saja lumbung dengan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat," katanya, merujuk pada kebijakan di masa lalu.

Virginia sepakat bahwa pandangan terhadap makanan lokal seringkali negatif. Menurutnya, orang yang makan ubi atau singkong akan diberi label kampungan.

Jaqualine Wijaya, CEO Eathink, menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara pangan hasil pertanian dan pangan yang didapatkan dari alam. "Jika ingin mencapai pola pangan sehat, harus ada keseimbangan di antara keduanya. Hasil hutan pun harus diambil dengan bertanggung jawab, jangan sampai merusak ekosistem sekitarnya," katanya.

Ia juga menyarankan penerapan agroekologi untuk mendukung biodiversitas. "Apalagi, sumber makanan yang beragam akan membantu menambah bakteri baik dalam tubuh yang berguna dalam menjaga kesehatan,” kata Jaqualine, yang belum lama ini bersama Eathink merilis panduan gaya hidup SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, Sadar).