Kisah oleh Aprizal Sulthon Rasyidi
Nationalgeographic.co.id—Salah satu anugerah terbesar di dunia, mungkin, adalah memiliki lidah yang tidak mendiskriminasi. Saya kenal beberapa orang yang punya lidah istimewa. Apapun bisa mereka makan. Bahkan nasi basi bisa dicicip dengan wajah datar.
Lidah istimewa itu memungkinkan mereka mengeksplorasi banyak sekali rasa dan aroma. Seolah-olah, mereka punya gudang super komplit tentang nama kacang-kacangan, buah, umbi-umbian, sayur, dan dedaunan. “Buah yang mulus tidak selalu bagus,” saya dengar salah satu dari mereka berkata begitu. “Sebab, hama saja enggan memakannya.” Rupanya, selain kaya perbendaharaan rasa, aroma, dan warna, lidah non-diskriminatif juga melahirkan filsafat.
Sayangnya, keberadaan lidah istimewa itu kini melangka. Saya tidak menemukan jawaban yang lebih memuaskan, selain bahwa karena pangan kita kian hari kian itu-itu saja.
Pada 1970-an, di Pulau Lombok, tanah leluhur saya, untuk pertama kali masyarakat mengenal konsep “perumahan”. Perumahan elit pertama di Lombok berdiri di Kota Mataram, namanya Perumnas; yang tinggal di sana adalah kaum menak pejabat tinggi pemerintahan dan pebisnis super kaya. Konsep Perumnas lantas ditiru oleh pembangunan banyak perumahan baru yang lebih kecil kemudian diisi oleh kelas menengah modern pertama di Lombok, baik itu pegawai negeri atau para perantau yang sukses.
Mereka, kelas menengah modern pertama tersebut, menjadi penanda lahirnya kelompok masyarakat baru yang tidak bertani dan nantinya melahirkan generasi yang buta kekayaan hutan. Anak-anak mereka melihat orangtuanya memenuhi kebutuhan pangan dengan cara “membeli”, bukan “memperoleh”.
Mereka tumbuh dengan referensi pangan yang terbatas hanya pada apa yang tersedia di pasar dan kios sayur. Di televisi, mereka terpapar jenis makanan dan camilan yang lebih trendi. Imajinasi tentang makanan pun bergeser; pangan khas Sasak seperti ubi rebus, lupis, serabi lak-lak, nagasari, tombongacong, jaje tujak, singgepur, dan cerorot mulai dipandang tidak modern, kampungan.
Saya sendiri lahir dan besar di sebuah perumahan, sehingga (tentu saja) tidak punya hubungan yang jelas dan intim dengan alam sekitar. Berbeda dengan orang Sasak, suku saya, yang struktur bangunannya saja mencerminkan kedekatan dengan alam dan Tuhan.
Dahulu, desain dapur orang Sasak mendorong para perempuan memasak dan mengolah bumbu sambil duduk di sentauq, sebuah kursi mini setinggi lima jari, sebab mereka masih memasak dengan jangkih (tungku kayu bakar) yang posisinya rendah di tanah. Posisi dan tempat duduk itu memudahkan mereka betumet (bersimpuh seperti duduk tahiyat awal) untuk mengulek bumbu di cobek batu yang terletak di kanan lutut. Dua kalimat syahadat dan shalawat dibaca sebelum mengulek; mereka percaya (dan sering membuktikan) seluruh tata cara di atas membuat makanan lebih enak meski bumbunya sederhana.
Dapur mereka pun biasanya terpisah dari rumah utama dan cukup luas untuk menampung kayu bakar, berkarung-karung beras, los-los bambu untuk menggantung bawang-bawangan dan kacang-kacangan, bahkan lasah (ranjang bambu) untuk beristirahat). Ubi, sayur, dan bahan pangan diletakkan di atas penempikan (loyang dari anyaman bambu), sedangkan ragi genep (14 bumbu komplit seperti jinten, cabe tandan, ketumbar, pala, merica, cengkeh, lada hitam) diletakkan di sebuah wadah khusus bernama ceraken. Dapur orang Sasak bukan sekadar dapur, melainkan museum pangan dengan pemampang yang luar biasa kaya!
Sayangnya, struktur rumah orang Sasak sekarang sudah berubah. Dapur rumah saya, dan dapur rumah kebanyakan orang di Pulau Lombok, berukuran kecil sehingga daya tampung pangan jadi tidak banyak. Perubahan bentuk dapur berpengaruh pada keragaman pangan.
Kekayaan Pangan dan Kehilangan-Kehilangan
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR