Klaim 80% Keanekargamaan Hayati Dilindungi Masyarakat Adat Keliru?

By Ade S, Kamis, 9 Januari 2025 | 10:03 WIB
Ilustrasi. Masyarakat adat memang berperan penting dalam konservasi, tapi benarkah 80% keanekaragaman hayati berada di tangan mereka? Mari bedah klaim ini. (Quang Bảo Tạ/Pixabay)

Para peneliti berpendapat bahwa klaim 80% ini seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan sejak awal. Konsep keanekaragaman hayati sendiri sangat kompleks dan sulit diukur secara akurat. Jutaan spesies belum teridentifikasi, dan batas-batas antara spesies seringkali masih diperdebatkan.

Oleh karena itu, sangat sulit untuk membuat perhitungan yang akurat mengenai proporsi keanekaragaman hayati yang berada di bawah pengelolaan masyarakat adat.

"Klaim 80% didasarkan pada dua asumsi: bahwa keanekaragaman hayati dapat dibagi menjadi unit yang dapat dihitung, dan bahwa unit-unit ini dapat dipetakan secara spasial di tingkat global. Tidak ada prestasi seperti itu yang mungkin," tulis para penulis di Nature.

"Kita tidak jujur ​​pada diri kita sendiri"

Bidang keanekaragaman hayati, meskipun didominasi oleh angka-angka yang tampak presisi, seringkali dihadapkan pada tantangan yang signifikan. Hal ini terutama berlaku dalam konteks spesies yang kurang dipahami seperti gajah Afrika, di mana perubahan ekosistem yang cepat dan keterbatasan data membuat perhitungan populasi menjadi tugas yang kompleks.

"Kita tidak jujur ​​pada diri kita sendiri di dalam jajaran kita sendiri," kata Matthias Glaubrecht, seorang profesor di Leibniz Institute for the Analysis of Biodiversity Change di Hamburg.

"Biologi adalah ilmu yang kotor, sehingga untuk berbicara: angka di sini adalah konstruksi tambahan untuk membuktikan suatu kasus, tetapi selalu disertai dengan tanda tanya besar."

Gajah Afrika, sebagai salah satu ikon satwa liar, sering dijadikan simbol kepunahan massal.

Angka-angka yang sering kita dengar, seperti penurunan populasi dari 26 juta pada awal abad ke-20 menjadi hanya setengah juta saat ini, telah menjadi narasi yang umum. Angka-angka ini bahkan dikutip oleh platform data populer seperti Our World in Data, organisasi non-profit, dan media massa.

Namun, jika kita merenungkan angka 26 juta, yang berarti hampir satu gajah untuk setiap kilometer persegi di seluruh benua Afrika, kita akan segera menyadari betapa tidak realistisnya angka tersebut. Variasi habitat yang sangat besar di Afrika membuat distribusi gajah yang merata di seluruh benua menjadi sangat tidak mungkin.

Asal-usul angka 26 juta ini dapat ditelusuri kembali ke sebuah tesis PhD pada awal 1990-an yang ditulis oleh Eleanor Jane Milner-Gulland. Dalam konteks perdebatan sengit mengenai larangan perdagangan gading, Milner-Gulland berusaha untuk memperkirakan dampak perburuan terhadap populasi gajah.

Baca Juga: Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi