Nationalgeographic.co.id—Program kredit karbon, seperti akusisi hutan-hutan Afrika oleh perusahaan asal Uni Emirat Arab memicu kontroversi.
Banyak yang melihat adanya kejanggalan dalam proses tersebut, termasuk tersingkirnya masyarakat adat.
Di sisi lain, program kredit karbon seperti ini juga dinilai bakal menjadi sarana "cuci tangan" para negara Eropa atas dosa-dosa besar mereka terhadap lingkungan.
Namun, benarkah demikian? Mari kita simak uraiannya berikut ini.
Tentang transaksi karbon kontroversial
Sejumlah kawasan hutan di Afrika, luasnya bahkan melebihi negara Italia, kini menjadi objek transaksi karbon yang menghebohkan. Di balik kesepakatan besar ini adalah Blue Carbon, perusahaan asal Uni Emirat Arab yang dipimpin langsung oleh Sheikh Ahmed Dalmook al-Maktoum, seorang anggota keluarga kerajaan Dubai.
Perusahaan ini telah berhasil mengamankan kesepakatan untuk mengelola hingga 20% lahan di beberapa negara Afrika, termasuk Zambia, Kenya, Tanzania, Liberia, dan beberapa negara lainnya.
Namun, langkah berani Blue Carbon ini justru menuai kecaman dari berbagai penjuru. Kelompok-kelompok lingkungan hidup khawatir akan adanya eksploitasi sumber daya alam di benua Afrika dan menyebutnya sebagai bentuk "perebutan Afrika" yang baru.
Ironisnya, Sheikh Ahmed yang memimpin Blue Carbon tidak memiliki latar belakang dalam konservasi alam. Meski demikian, ia berhasil menggaet sejumlah negara Afrika untuk bekerja sama. Puncaknya pada Oktober 2023, ketika Blue Carbon berhasil menyepakati pengelolaan 24,5 juta hektar hutan di Kenya.
Kesepakatan ini, menurut Mike Mwenda di laman lifegate.com, dinilai sangat kontroversial karena pemerintah Kenya dianggap tidak melibatkan masyarakat setempat yang notabene adalah pemilik lahan.
Selain itu, rincian perjanjian, terutama terkait aspek finansial, sengaja dirahasiakan. Hal ini semakin menguatkan dugaan adanya kepentingan bisnis yang lebih besar di balik proyek konservasi ini.
Baca Juga: Ada Program Kredit Karbon untuk Petani Padi Lewat Metode Irigasi Tetes
KOMENTAR