Nationalgeographic.co.id—Perluasan perkebunan kelapa sawit yang pesat menyebabkan kerusakan di sebagian besar wilayah hutan hujan tropis Indonesia dan Malaysia. Selain itu, juga meningkatkan emisi karbon dioksida dan menghancurkan habitat yang tersisa bagi banyak spesies yang terancam punah.
Menurut World Wildlife Fund (WWF), indeks spesies hutan tropis menurun hingga 25 persen dalam tiga dekade terakhir. Secara global, 300 juta hektar (ha) hutan tropis dikonversi untuk penggunaan non-hutan selama 20 tahun terakhir abad ke-20.
Antara tahun 2015 dan 2020, laju deforestasi diperkirakan mencapai 10 juta ha per tahun. Beberapa studi penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar perkebunan kelapa sawit dunia berada dalam hektar yang dikonversi ini.
Sejarah minyak kelapa sawit
“Kelapa sawit berasal dari Afrika dan dibawa ke Asia Tenggara selama masa kolonial,” tulis Abhijit Mohanty di laman Down to Earth. Perkebunan kelapa sawit kini meliputi wilayah yang sangat luas di Malaysia dan Indonesia. Baik Indonesia maupun Malaysia memproduksi lebih dari 85 persen minyak kelapa sawit dunia.
Manusia menggunakan minyak kelapa sawit sejak 5.000 tahun yang lalu. Pada abad ke-19, arkeolog menemukan minyak kelapa sawit di sebuah makam di Mesir. Minyak tersebut berasal dari 3.000 Sebelum Masehi. Diyakini kelapa sawit disebarkan ke seluruh dunia terutama oleh para pedagang.
Di Afrika, minyak kelapa sawit digunakan sebagai minyak goreng sejak zaman dahulu. Para pedagang Eropa membawa minyak kelapa sawit dari Afrika kembali ke tanah mereka. Bangsa Inggris mulai menggunakan minyak kelapa sawit sebagai pelumas industri selama Revolusi Industri.
Pada 1870, minyak kelapa sawit menjadi barang ekspor utama banyak negara Afrika Barat. Benin diyakini sebagai tempat asal produksi minyak kelapa sawit di Afrika.
Pada 1960, Kolombia memulai produksi minyak kelapa sawit dan menjadi produsen terbesar di Amerika. Permintaan melonjak pada tahun 1990-an. Pasalnya, perusahaan tiba-tiba menyadari implikasi kesehatan negatif dari lemak trans yang ditemukan dalam banyak produk olahan. Akhirnya, lemak trans diganti dengan minyak kelapa sawit.
Indonesia meningkatkan produksinya hingga 400 persen antara tahun 1994 dan 2004. “Malaysia memproduksi 19 juta ton minyak kelapa sawit per tahun, sementara Indonesia memproduksi 43 juta ton,” ungkap Mohanty. Nigeria adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar ketiga di dunia.
Pada 2006, produksi minyak kelapa sawit global diperkirakan mencapai 63 juta ton. Pada tahun 2018, jumlahnya meningkat menjadi 74 juta ton. Permintaan global untuk minyak kelapa sawit akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 menurut proyeksi.
Baca Juga: Teknologi 'Kuno' Ini Bisa Jadi Solusi Masalah Kelapa Sawit Dunia
Minyak kelapa sawit digunakan untuk banyak hal
Minyak kelapa sawit ada dalam segala hal. Mulai dari cokelat hingga roti, mi instan hingga sampo dan berbagai produk kosmetik. Secara global, setiap orang mengonsumsi rata-rata 8 kilogram minyak kelapa sawit setiap tahun. Dan hampir 50 persen dari produk penting dalam kehidupan kita sehari-hari mengandung minyak kelapa sawit.
Minyak sawit murah dan ada di mana-mana. Minyak ini digunakan dalam ribuan produk sehari-hari. Minyak sawit juga merupakan minyak sayur yang paling banyak dikonsumsi di planet ini. Namun, penggunaan minyak sawit menjadi kontroversi. Hal ini karena sebagian besar hutan hujan ditebang atau dibakar untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit.
Tidak ramah lingkungan
Perkebunan pohon kelapa sawit menggantikan sebagian besar hutan hujan, terutama di negara-negara Asia Tenggara. Kerusakan lingkungan serupa pun terlihat di beberapa negara Afrika barat dan tengah. Perkebunan kelapa sawit merampas habitat alami tanaman dan hewan asli.
“Kelapa sawit kini meliputi 11 persen wilayah Sumatera di Indonesia,” ujar Mohanty. Di tempat-tempat seperti Sumatera, pertumbuhan industri ini juga mendorong beberapa spesies satwa liar hutan hujan ke ambang kepunahan.
Di Indonesia dan Malaysia, banyak hewan liar yang terancam punah kehilangan tempat tinggalnya untuk memberi ruang bagi kelapa sawit. Ada gajah, harimau, bekantan, dan badak Sumatera.
Malaysia dan Indonesia merupakan satu-satunya rumah bagi sekitar 80.000 orang utan yang terancam punah dan habitat mereka terus-menerus terancam deforestasi akibat perkebunan kelapa sawit.
Hampir 50 persen dari hilangnya hutan alam berada di luar lahan yang diperuntukkan bagi penebangan atau produksi komersial. Hal ini diungkap oleh lembaga nirlaba Forest Watch Indonesia.
Hilangnya hutan hujan membatasi kemampuan untuk menyerap sejumlah besar karbon. Hal ini pada akhirnya menghancurkan habitat yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Petak-petak hutan yang luas dibakar untuk produksi minyak sawit karena ini adalah cara termurah. Para ahli mengatakan hal ini semakin memperburuk situasi. Penebangan pohon secara besar-besaran sering kali melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer melalui asap.
Emisi karbon dioksida bersih dari perubahan penggunaan lahan akibat perkebunan kelapa sawit meningkat dari 92 menjadi 1.984 teragram karbon dioksida per tahun di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini, antara tahun 1990 dan 2010, sebuah studi yang ditinjau sejawat tentang deforestasi kelapa sawit mengungkapkan. Selama periode ini, diperkirakan sekitar 9,6 juta ha lahan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit industri.
Lahan gambut tidak aman
Lahan gambut bertindak seperti spons untuk karbon dioksida. Lahan gambut menyerap dan menyimpan sejumlah besar CO2 di lingkungannya yang tergenang air dan rendah oksigen. Perkebunan kelapa sawit mengeringkan rawa-rawa ini dan membakar dedaunan yang tersisa. Karena itu, penyerapan karbon ini berbalik dan melepaskan semua karbon kembali ke atmosfer. Para pemerhati lingkungan berpendapat bahwa proses yang merusak ini menyebabkan penurunan tajam lahan gambut di Indonesia dan Malaysia.
Lahan gambut Asia Tenggara dapat menghilang pada tahun 2030 jika laju pertanian kelapa sawit terus berlanjut. Hal ini diungkap dalam studi yang bertajuk Southeast Asia's Tropical Peatlands could Disappear by 2030 yang di Frontiers in Ecology and the Environment.
Melarang penggunaan minyak kelapa sawit saja tidak cukup
Dalam pernyataan resminya, WWF mengatakan: “Memboikot minyak kelapa sawit tidak akan melindungi atau memulihkan hutan hujan. Sedangkan perusahaan diharapkan melakukan tindakan untuk industri minyak kelapa sawit yang lebih berkelanjutan . Sehingga bisa berkontribusi pada solusi yang transparan dan tahan lama.”
Perusahaan dan organisasi nirlaba di seluruh dunia termasuk WWF bersatu untuk mendirikan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2004. RSPO membuat serangkaian kriteria untuk menanam minyak kelapa sawit secara berkelanjutan.
Namun, baru pada tahun 2018 RSPO menerapkan pendekatan stok karbon tinggi. Sistem ini membantu mengidentifikasi area hutan yang berharga. Juga menjaga minyak kelapa sawit yang mereka sertifikasi sepenuhnya bebas dari deforestasi. Meskipun demikian, menerapkan pendekatan ini di lapangan tidaklah mudah. Baru sekitar 19 persen minyak kelapa sawit disertifikasi oleh RSPO di seluruh dunia. Masih banyak yang harus dilakukan.
Tantangan RSPO
Banyak hambatan yang dihadapi perusahaan yang mencoba menerapkan pendekatan RSPO dan komitmen nol-deforestasinya.
“Ada rantai pasokan yang sangat kompleks dan sulit untuk melacak sumber minyak kelapa sawit secara tepat,” kata Kieran Robson, profesional pembangunan yang berbasis di London.
Selain itu, ada berbagai tingkat dukungan pemerintah di berbagai daerah yang memproduksi minyak kelapa sawit. Dukungan pemerintah dapat memainkan peran penting dalam menentukan apakah suatu perusahaan dapat memproduksi minyak kelapa sawit tanpa deforestasi.
Semakin kompleks proses birokrasi, semakin sedikit kepatuhan terhadap pedoman di lapangan, kata Robson.
Apakah kita bisa melindungi hutan hujan tropis dan melepas ketergantungan akan kelapa sawit?