Nationalgeographic.co.id—Warga Jakarta telah menikmati modernitas dalam sarana publik penyedia keran air bersih selama lebih dari seratus tahun. Namun, respons mereka terhadap modernitas bisa beragam—dan kadang tak terduga.
Apa yang kita pikirkan saat hendak menikmati sarana drinking fountain atau air siap minum yang tersebar di ruang publik Jakarta? Ada orang yang merasa bahwa airnya aman dan layak diteguk sehingga mereka menggunakannya untuk mengisi botol minum. Akan tetapi, ada juga orang yang meragukan kelayakan air atau kebersihan sekitar keran air siap minumnya. Bahkan, boleh jadi ada sebagian dari kita yang tidak tahu apa itu keran air siap minum. Alhasil, ibarat wastafel, fasilitas publik itu justru digunakan untuk mencuci tangan atau mencuci muka. Sungguh-sungguh terjadi di kota metropolitan ini.
Ajaibnya, keran air siap minum di metropolitan ini bisa berubah fungsi menjadi tempat sampah seperti sebuah foto yang diunggah pengguna media sosial. Unggahan itu mewartakan sarana air siap minum di dekat salah satu stasiun angkutan cepat massal yang dijejali sampah.
Sejatinya, bagaimana makna dari situasi ini apabila dilihat melalui sudut pandang para pemikir sains dari peradaban silam? Kita akan berdialog imajiner bersama pemikiran mereka.
Edward Burnett Tylor (1832-1917) merupakan orang Inggris yang dijuluki sebagai salah satu Bapak Antropologi Modern. Ia memberikan pemikiran dasar atau teori tentang budaya dalam bukunya bertajuk Primitive Culture yang terbit pada 1871. Menurutnya, budaya merupakan "keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat."
Apakah meniadakan pentingnya kebersihan dan tanggung jawab terhadap fasilitas publik merupakan budaya warga Jakarta? Tylor mengungkapkan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh budaya dan norma-norma sosial yang melingkupi kehidupannya. Kasus sampah yang dibuang ke keran air siap minum boleh jadi merupakan akibat dari rendahnya pemahaman tentang pentingnya menjaga kebersihan fasilitas umum.
"Kadang-kadang kita melihat individu bertindak untuk kepentingan mereka sendiri dengan sedikit pemikiran tentang dampaknya terhadap masyarakat secara umum," ungkapnya dalam buku Primitive Culture.
Sementara itu teori simbol dari Clifford Geertz (1926-2006) menekankan pentingnya memahami makna simbolik dari tindakan manusia dalam konteks budaya mereka. Antropolog asal Amerika ini pernah meneliti kehidupan budaya masyarakat di Jawa dan Bali.
Dalam bukunya bertajuk The Interpretation of Cultures yang terbit pada 1973, Geertz mengungkapkan bahwa "[budaya] menunjukkan pola makna yang ditransmisikan secara historis yang diwujudkan dalam simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik, dengan cara di mana manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan sikap mereka terhadap kehidupan."
Dalam konteks cara berpikir Geertz, membuang sampah pada keran air siap minum bisa dilihat sebagai tindakan simbolik. Artinya, sebuah tindakan perlambang yang menunjukkan sikap acuh tak acuh atau kurangnya rasa tanggung jawab warga terhadap fasilitas umum.
Seorang psikolog kognitif Amerika, Leon Festinger (1919-1989), menggagas teori disonansi kognitif. Menurut pemikirannya, ketidakkonsistenan antara pikiran, atau antara pikiran dan tindakan, menyebabkan ketidaknyamanan atau disonansi yang mendorong perubahan pikiran atau perilaku.
Baca Juga: Menurunnya Permukaan Air Tanah, Aliran Sungai Jadi Mencemari Air Minum