“Adanya disonansi, yang secara psikologis tidak mengenakkan, akan mendorong seseorang untuk mencoba mengurangi disonansi dan mencapai keselarasan," ungkap Festinger yang menulis buku berjudul A Theory of Cognitive Dissonance pada 1957. "Ketika disonansi hadir, selain mencoba menguranginya, orang itu akan secara aktif menghindari situasi dan informasi yang boleh jadi akan meningkatkan disonansi.”
Artinya, disonansi kognitif terjadi ketika kita mengalami ketidaksesuaian antara keyakinan atau nilai-nilai dengan tindakan yang kita lakukan. Dalam kasus warga membuang sampah pada keran air siap minum boleh jadi warga mengalami disonansi kognitif karena mereka tahu bahwa tindakan tersebut salah, tetapi mereka masih melakukannya karena alasan-alasan tertentu.
Namun, para pemikir utilitarianisme akan melihat suatu tindakan berdasar etika yang bertumpu pada hasil dari tindakan manusia. Salah satunya, John Stuart Mill (1806-1873), seorang filsuf dan ekonom Inggris. Ia mengungkapkan tentang apa yang dimaksud dengan 'greatest happiness principle' dalam bukunya bertajuk Utilitarianism yang terbit pada 1863.
"Prinsip kebahagiaan terbesar," ungkap Mill, "menyatakan bahwa tindakan dianggap benar sejauh mana tindakan tersebut cenderung mempromosikan kebahagiaan dan dianggap salah sejauh mana tindakan tersebut cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan."
Jadi, menurut Mill, kebahagiaan menjadi kriteria utama untuk menentukan apa yang bermoral dan apa yang tidak, sehingga masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki orang-orang bahagia dan bebas dari rasa sakit.
Apabila perilaku yang benar adalah perilaku yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi banyak orang, membuang sampah pada keran air siap minum tentu bukan perilaku yang memberikan manfaat atau kebahagiaan bagi banyak orang. Sebaliknya, perilaku itu justru merugikan banyak orang—baik aspek bagi yang membutuhkan air minum maupun aspek keindahan ruang.
Perkara sampah yang menggelayuti sarana air siap minum di ruang publik, kita bisa juga melihatnya dalam dua aspek utama, yakni perilaku warga dan perilaku pemangku kebijakan publik.
Apabila kita menyaksikan perilaku warga, tampaknya warga Jakarta memiliki kecenderungan gemar membeli minuman dan makanan dalam kemasan daripada membawa bekal dari rumah. Ada adagium, sampah kita adalah cerminan pola hidup kita. Gaya hidup atau praktik budaya dalam mengonsumsi produk sekali pakai atau produk berumur pendek biasanya akan diikuti peningkatan limbah dan sampah. Tingginya jejak ekologis biasanya mencerminkan gaya hidup yang tidak berkelanjutan dan menghasilkan banyak sampah.
Sejatinya keputusan-keputusan perilaku kita pada masa silam itulah yang mampu membatasi pilihan perilaku kita pada hari ini. Apabila kita memiliki kebiasaan membuang sampah pada tempat-tempat tak semestinya—atau kebiasaan tidak merawat sarana publik dengan baik—maka perilaku ini akan berulang sampai hari ini. Perilaku-perilaku merugikan publik itu ibarat lingkaran setan, tidak akan berhenti sepanjang tidak ada kesadaran warga.
Sarana keran air siap minum yang tak terawat dan menjelma tempat sampah boleh jadi cerminan kekacauan pengelolaan sarana publik terkait pemeliharan dan penggunaannya. Apabila keran air siap minum kurang dikenal warga, tampaknya pemangku kebijakan publik memerlukan regulasi untuk promosi penggunaan kembali sarana itu. Ketika warga menyakini bahwa keran-keran air siap minum selalu dipelihara, warga pun akan berperilaku untuk memeliharanya.
Respons warga terhadap modernitas bisa beragam. Ada yang menerima modernitas karena memberikan manfaat atau kemajuan dalam kehidupan, namun ada pula yang menolaknya karena mengancam tradisi-tradisi lama dan kehidupan mereka.
Kota-kota yang beradab tidak sekadar menunjukkan kemegahan gedung dan sarana publiknya, tetapi juga jiwa dan perilaku warganya yang beradab. Apakah mewujudkan Jakarta sebagai kota yang lebih beradab adalah impian-impian surealis kita?
Seorang pelukis surealis asal Spanyol, Salvador Dali (1904-1989), pernah berkata tentang modernitas. "Jangan khawatir tentang menjadi modern," ujarnya. "Sayangnya, itu adalah satu hal yang—apa pun yang Anda lakukan—tidak bisa dihindari."