Ketika Pemikir Sains Memaknai Perilaku Membuang Sampah pada Keran Air Siap Minum

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 5 Februari 2025 | 15:00 WIB
Kota Jakarta memiliki keran-keran air siap minum atau 'drinking fountain' di ruang-ruang publik. Bagaimana rerspons warga Jakarta dengan sarana ini?
Kota Jakarta memiliki keran-keran air siap minum atau 'drinking fountain' di ruang-ruang publik. Bagaimana rerspons warga Jakarta dengan sarana ini? (KATEBOLOGNA22/PIXABAY)

 

Nationalgeographic.co.id—Warga Jakarta telah menikmati modernitas dalam sarana publik penyedia keran air bersih selama lebih dari seratus tahun. Namun, respons mereka terhadap modernitas bisa beragam—dan kadang tak terduga. 

Apa yang kita pikirkan saat hendak menikmati sarana drinking fountain atau air siap minum yang tersebar di ruang publik Jakarta? Ada orang yang merasa bahwa airnya aman dan layak diteguk sehingga mereka menggunakannya untuk mengisi botol minum. Akan tetapi, ada juga orang yang meragukan kelayakan air atau kebersihan sekitar keran air siap minumnya. Bahkan, boleh jadi ada sebagian dari kita yang tidak tahu apa itu keran air siap minum. Alhasil, ibarat wastafel, fasilitas publik itu justru digunakan untuk mencuci tangan atau mencuci muka. Sungguh-sungguh terjadi di kota metropolitan ini. 

Ajaibnya, keran air siap minum di metropolitan ini bisa berubah fungsi menjadi tempat sampah seperti sebuah foto yang diunggah pengguna media sosial. Unggahan itu mewartakan sarana air siap minum di dekat salah satu stasiun angkutan cepat massal yang dijejali sampah.

Sejatinya, bagaimana makna dari situasi ini apabila dilihat melalui sudut pandang para pemikir sains dari peradaban silam? Kita akan berdialog imajiner bersama pemikiran mereka.

Edward Burnett Tylor (1832-1917) merupakan orang Inggris yang dijuluki sebagai salah satu Bapak Antropologi Modern. Ia memberikan pemikiran dasar atau teori tentang budaya dalam bukunya bertajuk Primitive Culture yang terbit pada 1871. Menurutnya, budaya merupakan "keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat."

Apakah meniadakan pentingnya kebersihan dan tanggung jawab terhadap fasilitas publik merupakan budaya warga Jakarta? Tylor mengungkapkan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh budaya dan norma-norma sosial yang melingkupi kehidupannya. Kasus sampah yang dibuang ke keran air siap minum boleh jadi merupakan akibat dari rendahnya pemahaman tentang pentingnya menjaga kebersihan fasilitas umum.

"Kadang-kadang kita melihat individu bertindak untuk kepentingan mereka sendiri dengan sedikit pemikiran tentang dampaknya terhadap masyarakat secara umum," ungkapnya dalam buku Primitive Culture.

Sementara itu teori simbol dari Clifford Geertz (1926-2006) menekankan pentingnya memahami makna simbolik dari tindakan manusia dalam konteks budaya mereka. Antropolog asal Amerika ini pernah meneliti kehidupan budaya masyarakat di Jawa dan Bali.

Dalam bukunya bertajuk The Interpretation of Cultures yang terbit pada 1973, Geertz mengungkapkan bahwa "[budaya] menunjukkan pola makna yang ditransmisikan secara historis yang diwujudkan dalam simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik, dengan cara di mana manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan sikap mereka terhadap kehidupan."

Dalam konteks cara berpikir Geertz, membuang sampah pada keran air siap minum bisa dilihat sebagai tindakan simbolik. Artinya, sebuah tindakan perlambang yang menunjukkan sikap acuh tak acuh atau kurangnya rasa tanggung jawab warga terhadap fasilitas umum.

Seorang psikolog kognitif Amerika, Leon Festinger (1919-1989), menggagas teori disonansi kognitif. Menurut pemikirannya, ketidakkonsistenan antara pikiran, atau antara pikiran dan tindakan, menyebabkan ketidaknyamanan atau disonansi yang mendorong perubahan pikiran atau perilaku.

Baca Juga: Menurunnya Permukaan Air Tanah, Aliran Sungai Jadi Mencemari Air Minum

“Adanya disonansi, yang secara psikologis tidak mengenakkan, akan mendorong seseorang untuk mencoba mengurangi disonansi dan mencapai keselarasan," ungkap Festinger yang menulis buku berjudul A Theory of Cognitive Dissonance pada 1957. "Ketika disonansi hadir, selain mencoba menguranginya, orang itu akan secara aktif menghindari situasi dan informasi yang boleh jadi akan meningkatkan disonansi.” 

Artinya, disonansi kognitif terjadi ketika kita mengalami ketidaksesuaian antara keyakinan atau nilai-nilai dengan tindakan yang kita lakukan. Dalam kasus warga membuang sampah pada keran air siap minum boleh jadi warga mengalami disonansi kognitif karena mereka tahu bahwa tindakan tersebut salah, tetapi mereka masih melakukannya karena alasan-alasan tertentu.

Namun, para pemikir utilitarianisme akan melihat suatu tindakan berdasar etika yang bertumpu pada hasil dari tindakan manusia. Salah satunya, John Stuart Mill (1806-1873), seorang filsuf dan ekonom Inggris. Ia mengungkapkan tentang apa yang dimaksud dengan 'greatest happiness principle' dalam bukunya bertajuk Utilitarianism yang terbit pada 1863.

"Prinsip kebahagiaan terbesar," ungkap Mill, "menyatakan bahwa tindakan dianggap benar sejauh mana tindakan tersebut cenderung mempromosikan kebahagiaan dan dianggap salah sejauh mana tindakan tersebut cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan."

Jadi, menurut Mill, kebahagiaan menjadi kriteria utama untuk menentukan apa yang bermoral dan apa yang tidak, sehingga masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki orang-orang bahagia dan bebas dari rasa sakit.

Apabila perilaku yang benar adalah perilaku yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi banyak orang, membuang sampah pada keran air siap minum tentu bukan perilaku yang memberikan manfaat atau kebahagiaan bagi banyak orang. Sebaliknya, perilaku itu justru merugikan banyak orang—baik aspek bagi yang membutuhkan air minum maupun aspek keindahan ruang. 

Perkara sampah yang menggelayuti sarana air siap minum di ruang publik, kita bisa juga melihatnya dalam dua aspek utama, yakni perilaku warga dan perilaku pemangku kebijakan publik.

Apabila kita menyaksikan perilaku warga, tampaknya warga Jakarta memiliki kecenderungan gemar membeli minuman dan makanan dalam kemasan daripada membawa bekal dari rumah. Ada adagium, sampah kita adalah cerminan pola hidup kita. Gaya hidup atau praktik budaya dalam mengonsumsi produk sekali pakai atau produk berumur pendek biasanya akan diikuti peningkatan limbah dan sampah. Tingginya jejak ekologis biasanya mencerminkan gaya hidup yang tidak berkelanjutan dan menghasilkan banyak sampah.

Sejatinya keputusan-keputusan perilaku kita pada masa silam itulah yang mampu membatasi pilihan perilaku kita pada hari ini. Apabila kita memiliki kebiasaan membuang sampah pada tempat-tempat tak semestinya—atau kebiasaan tidak merawat sarana publik dengan baik—maka perilaku ini akan berulang sampai hari ini. Perilaku-perilaku merugikan publik itu ibarat lingkaran setan, tidak akan berhenti sepanjang tidak ada kesadaran warga.

Sarana keran air siap minum yang tak terawat dan menjelma tempat sampah boleh jadi cerminan kekacauan pengelolaan sarana publik terkait pemeliharan dan penggunaannya. Apabila keran air siap minum kurang dikenal warga, tampaknya pemangku kebijakan publik memerlukan regulasi untuk promosi penggunaan kembali sarana itu. Ketika warga menyakini bahwa keran-keran air siap minum selalu dipelihara, warga pun akan berperilaku untuk memeliharanya.

Respons warga terhadap modernitas bisa beragam. Ada yang menerima modernitas karena memberikan manfaat atau kemajuan dalam kehidupan, namun ada pula yang menolaknya karena mengancam tradisi-tradisi lama dan kehidupan mereka.

Kota-kota yang beradab tidak sekadar menunjukkan kemegahan gedung dan sarana publiknya, tetapi juga jiwa dan perilaku warganya yang beradab.  Apakah mewujudkan Jakarta sebagai kota yang lebih beradab adalah impian-impian surealis kita?

Seorang pelukis surealis asal Spanyol, Salvador Dali (1904-1989), pernah berkata tentang modernitas. "Jangan khawatir tentang menjadi modern," ujarnya. "Sayangnya, itu adalah satu hal yang—apa pun yang Anda lakukan—tidak bisa dihindari."