Spesies baru ini kemudian secara resmi diidentifikasi dan diberi nama Barbodes klapanunggalensis, atau yang lebih dikenal sebagai wader gua buta Klapanunggal, sebagai penghormatan terhadap daerah tempat penemuan mereka.
Menurut penelitian yang dipublikasikan, wader gua buta Klapanunggal memiliki tubuh yang ditutupi sisik dan dapat tumbuh hingga mencapai panjang sekitar 3 inci. Kepala mereka yang tanpa mata memiliki moncong "bulat" yang khas dan dilengkapi dengan beberapa sungut yang menyerupai kumis di sekitar mulutnya.
Foto-foto yang mendokumentasikan spesies baru ini mengungkapkan warna tubuh "putih keperakan" yang mencolok. Warna ini, seperti yang umum ditemukan pada hewan-hewan gua lainnya, merupakan akibat dari ketiadaan pigmen pada kulit mereka karena hidup dalam kegelapan abadi.
Menariknya, salah satu dari dua spesimen yang dikumpulkan tampak "lebih gemuk" dibandingkan yang lain, yang kemudian dijelaskan oleh para peneliti sebagai akibat dari "akumulasi cairan kental" di dalam tubuhnya.
Wader gua buta Klapanunggal diketahui menghuni kolam-kolam gua dangkal yang terletak antara 90 hingga 170 kaki di bawah permukaan tanah. Habitat mereka, yaitu kolam-kolam gua tersebut, digambarkan "berisi air jernih dan partikel tanah liat halus," dan terhubung ke sistem sungai bawah tanah yang bersifat "musiman."
Perilaku ikan ini juga cukup unik. Mereka cenderung "diam di air yang tenang, tetapi mulai berenang aktif ketika airnya terganggu," menunjukkan adaptasi terhadap lingkungan gua yang minim gangguan.
Para peneliti memutuskan untuk menamai spesies baru ini sesuai dengan Distrik Klapanunggal, wilayah geografis tempat spesies ini pertama kali ditemukan dan, hingga saat ini, merupakan satu-satunya lokasi keberadaan mereka yang diketahui. Distrik Klapanunggal, yang menjadi rumah bagi Gua Cisodong 1, terletak di daerah pinggiran Jakarta, ibu kota Indonesia
Ironisnya, spesies baru yang luar biasa ini sudah dianggap "memenuhi kriteria spesies terancam" karena kombinasi faktor-faktor seperti "distribusi terbatas, habitat khas, populasi kecil," serta "potensi ancaman tinggi" yang berasal dari aktivitas "industri ekstraktif" di wilayah tersebut.
Identifikasi spesies baru ini didasarkan pada serangkaian karakteristik morfologi yang khas, termasuk ketiadaan mata, bentuk sirip yang spesifik, proporsi tubuh yang unik, pewarnaan yang khas, dan fitur fisik halus lainnya. Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak melibatkan analisis DNA dari spesies baru tersebut.