Nationalgeographic.co.id—"Terkadang dibutuhkan bencana alam untuk mengungkapkan bencana sosial," demikian kata Jim Wallis. Ia menulis pendapat ini dalam esai yang terbit di surat kabar Huffington Post sekitar dua dekade silam.
Wallis dikenal sebagai seorang teolog, penulis, dan aktivis sosial di Washington, D.C. Amerika Serikat. Menurut hematnya, bencana alam sering kali menjadi momen yang mengungkap kelemahan atau ketidakadilan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam situasi bencana, struktur sosial yang rapuh, ketimpangan ekonomi, dan kurangnya kesiapan dapat terlihat jelas, terutama dalam cara dampak bencana memengaruhi berbagai kelompok masyarakat.
Dalam sejarah manusia, aspek kebencanaan memiliki daya tarik yang kuat untuk dijadikan cerita. Kebencanaan menghadirkan elemen dramatis dan emosional yang menggugah perhatian manusia sepanjang zaman. Bahkan, sastra-sastra kuno—termasuk kitab suci—mencatat aspek kebencanaan untuk menautkan kedekatan manusia dan alam.
Film sebagai media penutur cerita dalam peradaban visual modern sejatinya mampu melestarikan tradisi tutur dalam tema bencana. Dunia memiliki sederet film yang berlatar bencana gempa bumi, baik yang disebabkan aktivitas vulkanik maupun aktivitas tektonik. Film berlatar bencana memiliki potensi besar untuk mengedukasi tentang mitigasi bencana jika digarap dengan pendekatan informatif yang memikat minat insani.
Para sineas berpeluang merekonstruksi kejadian bencana yang pernah terjadi sebagai latar cerita, lalu menggambarkan bagaimana masyarakat menghadapi situasi tersebut dan mempraktikkan mitigasi bencana. Pendekatan ini bisa membantu pemirsa memahami pentingnya kesiapsiagaan.
Namun demikian, film kategori bencana biasanya tidak berada di puncak popularitas dibandingkan dengan genre lain seperti drama, romansa, komedi, atau aksi. Namun, daya tariknya tetap kuat karena elemen intens dan visual yang memukau. Tren pasar, budaya lokal, atau waktu perilisan juga menjadi aspek berpengaruh dalam kesuksesan saat rilisnya.
Film sering kali menghadirkan karakter atau cerita yang memotivasi pemirsa untuk merenungkan keyakinan atau tindakan mereka. Berikut ini sederet film yang tidak hanya menghadirkan ketegangan dan aksi, tetapi juga menyampaikan pesan tentang kekuatan alam dan kecilnya manusia-manusia yang berjuang untuk hidup dalam bingkai kebencanaan.

(1) Earthquake (1974), Film bencana yang begitu epik ini menggambarkan kehancuran besar akibat gempa bumi dahsyat di Los Angeles.
Jalan cerita film ini mengikuti berbagai karakter yang terjebak di tengah bencana, termasuk Stuart Graff (diperankan oleh Charlton Heston). Ia merupakan seorang insinyur yang memiliki konflik personal dengan istrinya dan hubungan rumit dengan rekannya. Film ini menunjukkan perjuangan para korban untuk bertahan hidup di tengah runtuhnya gedung-gedung, pecahnya bendungan, dan kekacauan di seluruh kota.
Efek visual film ini sangat mengesankan untuk zamannya, menggunakan teknik yang disebut "Sensurround" untuk menciptakan pengalaman gempa yang lebih nyata bagi penonton. Selain aksi dan kehancuran, film ini juga menyentuh aspek kemanusiaan—bagaimana orang-orang menghadapi rasa takut, pengorbanan, dan harapan di tengah situasi yang genting. Karakter-karakter utama saling berinteraksi dalam perjuangan mereka, menjadikan film ini tidak hanya tentang bencana tetapi juga tentang hubungan manusia.
Baca Juga: Sains Ungkap Apakah Gempa Bumi Bisa Memicu Letusan Gunung Berapi
Film ini disutradarai oleh Mark Robson dan skenarionya ditulis oleh George Fox dan Mario Puzo. Dengan kombinasi drama manusia dan efek bencana yang spektakuler, Earthquake menjadi salah satu film yang membuka jalan bagi genre film bencana.
Secara komersial, film ini juga sukses besar, dengan pendapatan box office yang mencapai sekitar $167,4 juta, jauh melampaui anggaran produksinya. Selain itu, film ini mendapatkan penghargaan Academy Award untuk kategori Efek Visual Terbaik, yang semakin mengukuhkan posisinya sebagai salah satu film bencana paling ikonik pada era 1970-an. Selain itu film ini juga menerima nominasi untuk kategori lainnya, seperti Sinematografi dan Penyuntingan Suara.
Namun, meskipun efek visual dan teknologinya dipuji, beberapa kritikus merasa bahwa pengembangan karakter dan alur cerita kurang mendalam. Meski begitu, film ini tetap menjadi favorit di kalangan penggemar genre bencana dan dianggap sebagai pelopor dalam genre tersebut.
Ada pesan dalam film ini bagaimana kita sepatutnya arif terhadap bencana masa depan sehingga mendorong kita untuk mitigasi, mengurangi risikonya. Dr. Willis Stockle, seorang seismolog yang memprediksi gempa besar di Los Angeles, mengingatkan, "No one was sure the atom bomb would work, until they dropped it. It worked."
(2) Pompeii (2014), film drama sejarah yang berlatar belakang letusan dahsyat Gunung Vesuvius pada 79 Masehi.
Film ini menampilkan kutipan Pliny the Younger yang hidup pada masa itu. "Di dalam kegelapan, terdengar tangisan para wanita, ratapan bayi, dan teriakan para pria. Sebagian berdoa meminta pertolongan. Yang lain berharap kematian," tulisnya. "Namun lebih banyak lagi yang membayangkan bahwa tidak ada lagi Tuhan, dan alam semesta telah tenggelam dalam kegelapan abadi."
Kisah ini mengikuti Milo (diperankan oleh Kit Harington), seorang budak dan gladiator dengan masa lalu kelam yang jatuh cinta pada Cassia (Emily Browning), seorang wanita bangsawan yang terjebak dalam hubungan politik dengan seorang senator korup, Corvus (Kiefer Sutherland). Milo berjuang untuk menyelamatkan Cassia di tengah meningkatnya ancaman letusan yang akan menghancurkan kota Pompeii.
Saat Gunung Vesuvius mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitas, kota Pompeii diguncang gempa dan letusan yang membawa kehancuran. Film ini secara visual menggambarkan tahapan letusan, mulai dari awan panas hingga aliran lava yang mengalir cepat, menciptakan rasa ketegangan yang semakin meningkat. Dampaknya terhadap kota Pompeii divisualisasikan dengan detail, seperti kehancuran bangunan, jatuhnya batu besar, dan api yang membakar.
Visual dalam film ini sangat mengandalkan efek Computer-Generated Imagery untuk memaparkan skala bencana, termasuk pemandangan kehancuran kota, kepanikan warga, dan debu vulkanik yang memenuhi udara. Elemen ini tidak hanya dramatis tetapi juga mendalam secara emosional.
Dalam kekacauan ini, Milo tidak hanya harus bertarung melawan Corvus dan pasukannya, tetapi juga melawan kekuatan alam yang mengancam nyawa. Film ini menggambarkan ketegangan antara perjuangan cinta, pengorbanan, dan nasib tragis warga kota yang terperangkap.
Baca Juga: Arkeolog Pompeii Singkap Bagaimana Kaum Elite Romawi Menikmati Harta
Sementara bencana alam berfungsi sebagai latar epik, fokus narasi tetap pada konflik manusia, seperti perjuangan Milo untuk menyelamatkan Cassia. Interaksi mereka di tengah kehancuran menambah lapisan emosional pada cerita. Pompeii tidak banyak menghadirkan dialog yang secara langsung mendeskripsikan bencana Gunung Vesuvius dalam detail filosofis atau teknis. Film ini lebih terfokus pada drama karakter di tengah kehancuran.
Film ini disutradarai oleh Paul W.S. Anderson, dengan naskah yang ditulis oleh Janet Scott Batchler, Lee Batchler, dan Michael Robert Johnson. Dengan visual yang menggambarkan skala kehancuran secara epik, film ini menonjolkan kisah manusia di tengah salah satu bencana vulkanik paling terkenal dalam sejarah.
Letusan akhirnya menjadi simbol ketidakberdayaan manusia di hadapan alam. Karakter utama harus menerima nasib mereka, yang memberikan akhir tragis namun penuh makna. Adegan akhir begitu dramatis dan penuh emosi. Milo dan Cassia menerima nasib mereka di tengah kehancuran akibat letusan Gunung Vesuvius, ketika rasa cinta dan keberanian dalam situasi yang tidak dapat dihindari.
Cassia berkata, "Is this the end of the world? Why would the gods let this happen?"
(3) Volcano (1997), film aksi dan bencana ketika sebuah gunung berapi tiba-tiba muncul dan mulai meletus di tengah kota Los Angeles.
"Welcome to Los Angeles. It's hotter than hell," demikian ungkapan dalam film ini.
Cerita berpusat pada Mike Roark (diperankan oleh Tommy Lee Jones), kepala Darurat dan Keselamatan Kota Los Angeles. Ia harus bekerja sama dengan ahli geologi Dr. Amy Barnes (Anne Heche) untuk menghentikan lava yang mematikan dan menyelamatkan penduduk kota. Lava yang merayap melalui jalanan kota membawa kehancuran besar, menuntut aksi cepat dari para karakter utama.
Di tengah usaha mereka untuk mengatasi bencana, film ini juga menyoroti dinamika sosial dan manusia, termasuk pengorbanan dan keberanian yang muncul dalam situasi krisis.
Konflik utama adalah bagaimana mereka menggunakan pengetahuan dan kreativitas untuk melawan kekuatan alam yang tak terkendali. Puncak cerita menggambarkan ketegangan dan aksi dramatis saat seluruh tim bersatu untuk mencegah lava menghancurkan lebih banyak wilayah.
Film ini disutradarai oleh Mick Jackson, dengan naskah yang ditulis oleh Jerome Armstrong dan Billy Ray. Kombinasi aksi, ketegangan, dan elemen emosional menjadikan film ini salah satu klasik di genre bencana alam.
Baca Juga: Tidak Hanya di Laut, Bagaimana Tsunami Bisa Terjadi di Danau?
(4) Dante's Peak (1997), film bertema bencana alam yang berpusat pada aktivitas vulkanik di kota kecil yang dikenal sebagai salah satu tempat teraman di Amerika.
"Isn't this beautiful, nestled all nice and cozy right up against the mountain?" kata Stan.
"Yeah, just like Pompeii," seru Nancy.
Cerita bermula ketika Harry Dalton (diperankan oleh Pierce Brosnan), seorang ahli vulkanologi, dikirim untuk menyelidiki aktivitas seismik di kota tersebut. Meskipun awalnya penduduk kota skeptis, Harry mencurigai bahwa Gunung Dante yang selama ini dianggap tidak aktif menunjukkan tanda-tanda akan meletus.
Harry berkata untuk meyakinkan kepada orang-orang akan ancaman Gunung Dante yang sesungguhnya, "I've always been better at feeling out volcanoes than people and politics."
Ketegangan meningkat saat prediksinya terbukti benar, dan gunung berapi tersebut mulai meletus, menghancurkan kota dengan lava, abu, dan banjir lahar. Harry bersama walikota kota, Rachel Wando (Linda Hamilton), harus bekerja sama untuk menyelamatkan penduduk, termasuk keluarga Rachel, dari kehancuran. Film ini menunjukkan perjuangan dramatis manusia melawan kekuatan alam yang tak terduga.
Film ini disutradarai oleh Roger Donaldson, sementara naskahnya ditulis oleh Leslie Bohem. Dengan efek visual yang mengesankan dan alur cerita yang menegangkan, Dante's Peak menjadi salah satu film bencana yang paling dikenang pada era 1990-an.
Film ini menyajikan perjuangan manusia atas kekuatan alam, pentingnya menghargai kehidupan meskipun kehilangan banyak hal lainnya. Setelah bencana, hal yang terpenting adalah kehidupan.
(5) The Wave (2015), film bencana yang terinspirasi peristiwa nyata di kawasan fjord Norwegia.
Judul aslinya Bølgen dalam bahasa Norwegia, yang memiliki makna yang sama dalam judul berbahasa Inggrisnya. Cerita ini berpusat pada Kristian Eikjord (diperankan oleh Kristoffer Joner). Ia adalah seorang ahli geologi yang menemukan tanda-tanda bahaya ketika gunung di sekitar fjord Geiranger menunjukkan aktivitas tak stabil.
Baca Juga: Bagaimana Aktivitas Manusia Bisa Menyebabkan Gempa Bumi Dahsyat?
Meski ia berusaha memperingatkan warga setempat akan kemungkinan longsoran yang dapat memicu tsunami dahsyat, tanggapan datang terlambat saat bencana terjadi. Film ini menampilkan perjuangan Kristian untuk menyelamatkan keluarganya saat air tsunami menghancurkan kota kecil tersebut. Ada ketegangan aksi dan drama ketika para karakter menghadapi kekuatan alam yang tak terkendali, sambil bertahan hidup.
Visual yang mengesankan memberikan gambaran realistis tentang dampak tsunami. Pemirsa pun merasa terhubung dengan tantangan besar yang dihadapi setiap karakter. Film ini juga mengangkat tema keberanian, keluarga, dan penyesalan yang mendalam ketika berhadapan dengan bencana alam.
Sutradaranya, Roar Uthaug. Naskahnya ditulis oleh John Kåre Raake dan Harald Rosenløw-Eeg. Film ini menjadi salah satu film bencana paling ikonik dari Norwegia, dengan penekanan pada realisme dan kekuatan manusia saat menghadapi krisis.
Pada bagian akhir film ini, terdapat momen yang menyentuh ketika Kristian berhasil menyelamatkan keluarganya setelah menghadapi tsunami yang dahsyat. Ada pesan perjuangan manusia melawan kekuatan alam yang tak terduga, sekaligus menyoroti pentingnya cinta dan keberanian dalam menghadapi bencana.
(6) Krakatoa: The Last Days (2006), gambaran erupsi dahsyat Krakatau pada 1883.
Film dokudrama ini tidak hanya memberikan wawasan ilmiah, tetapi kita juga diajak menyaksikan emosi dan ketegangan yang dirasakan oleh mereka yang mengalaminya.
Tayang perdana di BBC One pada Mei 2006, yang bertujuan menyajikan gambaran letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883. Film ini menggabungkan kisah nyata dari empat saksi mata dengan elemen fiksi untuk memberikan gambaran yang mendalam tentang salah satu bencana alam paling dahsyat dalam sejarah.
Narasi film ini berfokus pada dampak letusan terhadap masyarakat sekitar, termasuk keluarga Willem Beijerinck (diperankan oleh Rupert Penry-Jones). Mereka berusaha melarikan diri dari amukan gunung berapi di Selat Sunda itu.
Gambaran awan abu begitu mencekam, disusul aliran piroklastik, runtuhnya stratovolcano, dan gelombang tsunami. Ketika perairan selat itu bergolak, ada sebuah kapal terjebak di laut. Kapal itu dikisahkan mengangkut lebih dari seratus penumpang yang tengah menunggu keajaiban untuk selamat.
Baca Juga: Bagaimana Petir Vulkanik Bisa Muncul dari Gunung yang Erupsi?
Film ini menyoroti peran Rogier Verbeek (Kevin McMonagle), seorang geolog Belanda. Setelah letusan Krakatau, penelitian geologinya menjadi dasar bagi ilmu vulkanologi modern. Film ini menggunakan efek visual yang mengesankan, mampu menggambarkan letusan gunung berapi, aliran piroklastik, dan tsunami yang menghancurkan.
Moral ceritanya, bencana seperti letusan gunung berapi mampu mengubah kehidupan dalam sekejap. Atas pengetahuan itulah manusia memerlukan persiapan, edukasi, dan kerja sama untuk mengurangi dampak bencana.
Selain itu, film ini juga menyampaikan nilai-nilai tentang ketahanan manusia dan kekuatan cinta keluarga di tengah tragedi. Bagaimana solidaritas dan keberanian dapat menjadi harapan di tengah kehancuran.
Sutradara film ini adalah Sam Miller sedangkan penulis ceritanya adalah Colin Heber-Percy, Michael Olmert, dan Lyall B. Watson.
Kendati mengisahkan sebuah gunung dan kehidupan di Indonesia, sebagian besar syutingnya di Afrika Selatan. Lokasi ini dipilih untuk merepresentasikan lanskap tropis yang menyerupai wilayah sekitar Gunung Krakatau pada akhir abad ke-19.
(7) Hafalan Shalat Delisa (2011), perjuangan seorang anak kecil di pesisir Aceh ketika tsunami menerjang.
Film ini diadaptasi dari novel karya Tere Liye, mengisahkan perjuangan seorang anak kecil bernama Delisa (diperankan oleh Chantiq Schagerl). Pada 26 Desember 2004, ketika Delisa sedang mempersiapkan ujian hafalan shalat, gempa bumi besar mengguncang Lhoknga, Aceh Besar.
Berikutnya, sekonyong-konyong tsunami dahsyat menerjang dan menghancurkan desanya. Akibatnya, ia terluka parah sehingga kakinya harus diamputasi, bahkan kehilangan ibu dan saudara-saudaranya.
Film ini menggambarkan perjalanan Delisa dalam menghadapi kehilangan dan trauma, sambil tetap berpegang pada nilai-nilai agama dan harapan. Dengan bantuan ayahnya, Abi Usman (Reza Rahadian), dan orang-orang di sekitarnya, ia belajar untuk bangkit kembali dan menemukan makna hidup di tengah kehancuran. Kisah ini penuh dengan pesan tentang ketabahan, cinta, dan kekuatan iman.
Film ini disutradarai oleh Sony Gaokasak, dengan naskah yang ditulis oleh Aramantono. Hafalan Shalat Delisa tidak hanya menyentuh hati penonton, tetapi juga memberikan penghormatan kepada para korban tsunami Aceh.
Baca Juga: Selain di Aceh, Tsunami Besar juga Berpotensi Terjadi di Selatan Jawa
Ustaz Rahman (Al Fathir Muchtar) merupakan sosok guru agama yang membimbing Delisa dan anak-anak lainnya dalam belajar shalat. Ia memberikan arahan dan motivasi kepada Delisa dalam mempersiapkan diri untuk ujian hafalan shalatnya. Ada kutipan yang menggugah bagaimana manusia mencari makna kekuatan dari iman dan cinta untuk melanjutkan hidup, meskipun menghadapi tragedi besar seperti tsunami.
"I am still wondering what is the meaning of all this? Why God gave us this disaster? How we make a living? How we forget the pain," tanya Ustaz Rahman dalam bahasa Inggris.
(8) Kemarin (2020), dokumenter drama yang mengisahkan perjalanan band Seventeen sampai tragedi tsunami di Selat Sunda.
Film yang mengisahkan perjalanan band Seventeen, mulai dari awal karier mereka hingga tragedi tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018.Letusan Anak Krakatau menyebabkan lereng gunung runtuh, menciptakan longsoran bawah laut yang memicu gelombang tsunami besar. Tsunami ini menghantam pesisir Banten dan Lampung tanpa adanya peringatan dini. Alasannya, sistem peringatan tsunami saat itu hanya mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi tektonik. Bencana ini menjadi titik balik yang memilukan dalam kisah perjalanan band ini.
Saat sedang tampil di Tanjung Lesung, Banten, tsunami menghancurkan panggung dan merenggut nyawa tiga anggota band—Bani, Herman, dan Andi—serta beberapa kru dan orang tercinta, termasuk istri dari vokalis Ifan Seventeen. Film ini menggabungkan dokumentasi pribadi, reka adegan, wawancara keluarga korban dan manajemen band yang memberikan gambaran mendalam tentang bencana yang terjadi.
Sutradara film ini adalah Lutfie Abdullah atau yang beken disapa Upie Guava. Judul film ini menjadi penghormatan bagi para anggota band yang telah pergi. Selain itu, film ini juga menyampaikan pesan tentang ketabahan, cinta, dan penghargaan terhadap kehidupan di tengah kehilangan besar.
"Kemarin engkau masih ada di sini / Bersamaku menikmati rasa ini / Berharap semua takkan pernah berakhir / Bersamamu / Bersamamu," demikian Ifan melantunkan lirik tembang Kemarin. Kini ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Produksi Film Negara.
Sinema bergenre bencana
Indonesia sering dijuluki sebagai "negeri bencana" karena letaknya yang berada di kawasan geologis dan geografis yang sangat rentan terhadap berbagai jenis bencana alam.
Negara kepulauan ini memiliki garis pantai yang panjang dan menyimpan risiko terhadap tsunami, selain itu memiliki lebih dari 130 gunung berapi aktif! Kita berada di kawasan cincin api, zona tektonik aktif yang mengelilingi Samudra Pasifik. Bukan perkara garib bila kerap terjadi gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Apalagi dampak perubahan iklim global memperburuk risiko bencana di Indonesia, menciptakan potensi bencana hidrometeorologi—seperti kekeringan, badai tropis, dan kenaikan permukaan air laut.
Meski Indonesia kerap diterpa bencana alam, film bergenre bencana tampaknya belum menjadi prioritas bagi para sineas. Atau dengan kata lain, ada peluang bagi sineas untuk menggali cerita inspiratif tentang ketangguhan masyarakat Indonesia menghadapi gempa bumi dan bencana lainnya.
Boleh jadi genre bencana alam belum menjadi prioritas karena belum memiliki pasar yang kuat. Hari ini genre film di Indonesia cenderung lebih fokus pada drama keluarga, komedi, horor, atau romansa. Selain itu film bergenre bencana memiliki tantangan teknis dan kreatif yang memerlukan pembiayaan dan sumber daya manusia lebih mumpuni.
"Film-film bergenre bencana [memang] langka dibuat sineas Indonesia, padahal wilayah Indonesia secara geologis banyak aneka bencananya, juga secara hidrometeorologis," ujar Awang Satyana, seorang ahli geologi senior. Menurutnya, film-film bergenre seperti itu penting digarap oleh para profesional perfilman kita sebab Indonesia merupakan wilayah bencana. "Baik tujuannya buat edukasi maupun sebagai latar belakang sebuah kisah."
Apalagi masyarakat Indonesia saat ini lebih sadar tentang potensi bencana yang bisa melanda Indonesia dibandingkan dahulu, ungkapnya. Atas pemikiran itulah Awang berharap keberadaan film-film bergenre bencana hasil karya Indonesia mestinya akan menarik.
Bagaimana visi edukasi bencana dan mitigasinya dalam tinjauan sinema? Kita meyakini bahwa persiapan melalui pendidikan tampaknya akan lebih murah dibandingkan belajar melalui tragedi.