Jadi Ancaman, Bagaimana Pemanasan Global Mengubah Kehidupan di Bumi?

By Ricky Jenihansen, Minggu, 20 April 2025 | 12:00 WIB
Orang-orang melihat 'Floating Earth' karya seniman Luke Jerram di sebuah danau perkotaan di Wigan, Inggris. Patung tersebut menarik perhatian pada pemanasan global, kenaikan suhu di seluruh dunia yang menyebabkan perubahan iklim yang besar.
Orang-orang melihat 'Floating Earth' karya seniman Luke Jerram di sebuah danau perkotaan di Wigan, Inggris. Patung tersebut menarik perhatian pada pemanasan global, kenaikan suhu di seluruh dunia yang menyebabkan perubahan iklim yang besar. (Photograph by Christopher Furlong, Nat Geo Image Collection)

Nationalgeographic.co.id—Pemanasan global bukan lagi prediksi masa depan, namun sedang berlangsung saat ini, dan dampaknya dirasakan di seluruh penjuru Bumi.

Sejak Revolusi Industri—yang ditandai dengan pemanfaatan bahan bakar fosil secara masif untuk pembangkit listrik, transportasi, dan berbagai sektor lainnya—temperatur Bumi terus mengalami peningkatan.Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, sekaligus menjadi tahun pertama di mana suhu rata-rata Bumi melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius.

Sepuluh tahun terakhir juga menjadi deretan tahun terpanas yang pernah tercatat. Sebuah rekonstruksi suhu rata-rata Bumi selama 485 juta tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap kali Bumi mengalami pemanasan, selalu diikuti oleh cuaca ekstrem dan kepunahan massal. Studi tersebut juga mencatat bahwa belum pernah dalam sejarah Bumi, suhu meningkat secepat yang terjadi saat ini.

Istilah global warming (pemanasan global) dan climate change (perubahan iklim) sering digunakan secara bergantian. Namun, para ilmuwan lebih memilih istilah "perubahan iklim" untuk menggambarkan perubahan kompleks yang kini memengaruhi sistem cuaca dan iklim Bumi.

Perubahan iklim mencakup lebih dari sekadar kenaikan suhu rata-rata. Ia juga mencakup meningkatnya intensitas bencana alam, pergeseran habitat satwa liar, naiknya permukaan laut, serta beragam dampak lainnya.

Semua perubahan ini muncul seiring dengan terus bertambahnya emisi gas rumah kaca—seperti karbon dioksida dan metana—yang terperangkap di atmosfer akibat aktivitas manusia.

Apa Penyebab Pemanasan Global?

Pemanasan global terjadi ketika emisi dari bahan bakar fosil dilepaskan ke atmosfer dan mengubah komposisi kimianya.

Proses ini memungkinkan sinar matahari menembus ke permukaan Bumi, tetapi mencegah panas yang dipantulkan kembali keluar ke angkasa. Akibatnya, panas terperangkap dan suhu Bumi meningkat—fenomena ini dikenal sebagai efek rumah kaca.

Gas rumah kaca yang paling umum ditemukan adalah karbon dioksida (CO₂), yang juga merupakan penyumbang terbesar terhadap pemanasan iklim. Gas ini dihasilkan sebagai produk sampingan dari produksi dan pembakaran minyak bumi, gas alam, dan batu bara.

Sekitar seperempat dari total emisi karbon dioksida juga berasal dari alih fungsi lahan, seperti pembukaan hutan untuk pertanian atau industri kehutanan. Selain karbon dioksida, gas metana juga berperan besar dalam pemanasan global. Meski hanya menyumbang sekitar 16 persen dari total emisi, metana memiliki daya pemanasan sekitar 25 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida, meskipun gas ini lebih cepat menghilang dari atmosfer.

Baca Juga: Penjelasan Pengaruh Gas Rumah Kaca Terhadap Pemanasan Global

Artinya, metana bisa menyebabkan lonjakan pemanasan dalam waktu singkat, tetapi pengurangan emisi metana juga dapat memberikan dampak cepat dalam menahan laju peningkatan suhu global.

Sumber utama metana berasal dari sektor pertanian—terutama dari peternakan—serta dari kebocoran dalam proses produksi minyak dan gas, dan dari limbah yang membusuk di tempat pembuangan akhir (TPA).

Apa Dampak dari Pemanasan Global?

Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari pemanasan global adalah pengaruh kenaikan suhu terhadap wilayah kutub dan gletser di pegunungan. Kawasan Arktik, misalnya, mengalami pemanasan empat kali lebih cepat dibandingkan rata-rata wilayah lain di planet ini.

Akibatnya, habitat es yang penting bagi kehidupan di sana semakin menyusut, dan pola angin jet stream terganggu—memicu cuaca yang semakin sulit diprediksi di berbagai belahan dunia.

Pemanasan global tidak hanya berarti suhu udara menjadi lebih panas. Pemanasan ini juga memengaruhi pola curah hujan, menjadikannya lebih ekstrem. Untuk setiap kenaikan satu derajat Celcius, udara mampu menampung sekitar tujuh persen lebih banyak uap air. Akumulasi kelembapan ini dapat memicu banjir bandang, badai yang lebih kuat dan merusak, bahkan secara paradoks, juga hujan salju yang lebih lebat.

Para ilmuwan terkemuka di dunia secara rutin berkumpul untuk meninjau hasil riset terbaru tentang perubahan kondisi Bumi. Temuan-temuan ini dirangkum dalam laporan berkala yang dikenal sebagai Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Salah satu laporan komprehensif IPCC mengungkap betapa luas dan mengganggunya dampak dari kenaikan suhu global:

Terumbu karang kini menjadi salah satu ekosistem yang paling terancam punah. Saat suhu air laut meningkat, karang mengalami stres dan mengusir alga yang memberi mereka warna dan energi. Proses ini dikenal sebagai coral bleaching atau pemutihan karang. Dalam kondisi lemah seperti ini, karang lebih rentan mati.

Pohon-pohon mati akibat kekeringan dalam skala besar, yang pada gilirannya mengubah struktur dan fungsi ekosistem hutan.

Suhu tinggi dan curah hujan yang tidak menentu juga menyebabkan kebakaran hutan makin sering dan meluas, bahkan mulai terjadi di wilayah timur Amerika Serikat yang sebelumnya jarang terdampak.

Badai semakin merusak dan membawa lebih banyak hujan, meningkatkan potensi kerusakan infrastruktur dan lingkungan. Beberapa ilmuwan bahkan menyatakan bahwa kita mungkin perlu menambahkan kategori baru, yaitu Kategori 6, dalam sistem klasifikasi badai yang saat ini hanya sampai Kategori 5.

Bisakah Pemanasan Global Dibatasi?

Secara teori, membatasi laju pemanasan global masih mungkin dilakukan. Namun dalam praktiknya, tantangan ini sangat kompleks—baik dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.

Langkah pertama adalah mengurangi sumber utama emisi gas rumah kaca. Misalnya, penggunaan minyak dan gas untuk pembangkit listrik serta industri manufaktur harus segera digantikan oleh teknologi yang menghasilkan emisi nol bersih, seperti energi angin dan tenaga surya.

Sementara itu, sektor transportasi—yang juga menjadi penyumbang emisi besar—perlu mengadopsi lebih banyak kendaraan listrik, meningkatkan transportasi publik, dan menerapkan desain kota yang inovatif, seperti jalur sepeda yang aman dan lingkungan yang ramah pejalan kaki.

Salah satu solusi pemanasan global yang dulunya dianggap mustahil kini mulai dipertimbangkan secara serius, yaitu rekayasa geoengineering. Teknologi ini bertujuan untuk memanipulasi atmosfer Bumi—entah dengan memblokir sebagian sinar matahari agar tidak sampai ke permukaan Bumi, atau menyedot karbon dioksida langsung dari udara.

Pemulihan alam juga memiliki potensi besar dalam membatasi pemanasan. Hutan, lautan, lahan basah, dan ekosistem lainnya secara alami menyerap kelebihan karbon. Namun ketika ekosistem ini rusak atau hilang, kemampuan alami mereka untuk menyerap karbon juga ikut lenyap, memperburuk krisis iklim.

Pada akhirnya, selain berupaya mencegah, manusia juga harus beradaptasi terhadap perubahan yang sudah terjadi. Ini bisa berarti membangun rumah yang tahan terhadap naiknya permukaan laut, atau menciptakan sistem pendingin rumah yang lebih efisien untuk menghadapi gelombang panas yang makin sering terjadi.

  

---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News  https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam!