Perubahan Iklim Paksa Penguin Langka Galapagos Berevolusi Melawan Kodrat

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 19 April 2025 | 18:00 WIB
Penguin Galápagos menghuni Pulau Isabela, tempat mereka bergabung dengan iguana laut.  Penguin Galápagos telah berevolusi secara ekstrem untuk beradaftasi dengan perubahan iklim.
Penguin Galápagos menghuni Pulau Isabela, tempat mereka bergabung dengan iguana laut. Penguin Galápagos telah berevolusi secara ekstrem untuk beradaftasi dengan perubahan iklim. (Photograph by Bertie Gregory, Nat Geo Image Collection)

Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim yang semakin ekstrem tak hanya mengancam kehidupan manusia, tetapi juga memaksa spesies langka seperti penguin Galápagos untuk beradaptasi secara luar biasa.

Berbeda dengan kerabatnya yang hidup di kutub, penguin satu ini justru tinggal di garis khatulistiwa—tempat yang panas dan lembap.

Dalam kondisi yang tak biasa bagi seekor penguin, mereka perlahan berevolusi, mengembangkan perilaku dan strategi unik agar tetap bertahan di habitat tropis yang makin terancam.

Di tengah panas terik dekat garis khatulistiwa, satu-satunya spesies penguin yang hidup di wilayah tropis—penguin Galápagos—menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap perubahan iklim.

Di perairan Pulau Bartolomé, Ekuador, konservasionis Dee Boersma dan timnya memantau koloni langka ini untuk meneliti kesehatan dan perilaku mereka di tengah lingkungan yang semakin ekstrem.

“Bagaimana mungkin kamu tidak jatuh cinta pada burung ini?” ujar Boersma, peneliti senior berusia 78 tahun yang juga Direktur Center for Ecosystem Sentinels di University of Washington dan penjelajah National Geographic. “Mereka lucu, penasaran, dan memikat.”

Berukuran mungil dan hidup di pulau vulkanik yang panas, penguin ini menantang persepsi umum bahwa semua penguin hanya hidup di tempat dingin.

Boersma menyebut mereka sebagai "penjaga ekosistem laut", karena perubahan populasi mereka mencerminkan kondisi lingkungan yang lebih luas.

Ia dan timnya mencatat ukuran tubuh, berat, dan kondisi fisik burung-burung tersebut untuk melacak dampak pemanasan global dan degradasi habitat.

Saat ini, lebih dari separuh spesies penguin di dunia tergolong terancam punah atau rentan. Pemanasan global, penangkapan ikan berlebihan, dan polusi laut menjadi ancaman utama.

Meski demikian, penguin Galápagos menunjukkan ketangguhan adaptif yang mengejutkan—berhasil bertahan di wilayah yang suhunya terus meningkat.

Baca Juga: Dokkaebi, Goblin dalam Mitologi Korea yang Ternyata Alami Evolusi Antropomorfis

“Saya pikir mereka akan punah puluhan tahun lalu,” kata Boersma. “Tapi mereka masih ada, dan mereka terus bertahan.”

Perjalanan evolusi penguin Galápagos menunjukkan bagaimana tekanan lingkungan membentuk spesies selama jutaan tahun.

Studi genetika mengungkap bahwa mereka berasal dari penguin Humboldt sekitar dua juta tahun lalu, saat arus laut dingin membawa nenek moyang mereka ke Kepulauan Galápagos. Di sana, mereka menemukan tempat yang kaya makanan dan perlindungan, terutama di pulau Isabela dan Fernandina.

Adaptasi utama yang memungkinkan mereka bertahan di iklim panas adalah cara mereka bersarang di celah-celah batuan lava yang sejuk dan teduh.

Tubuh mereka yang kecil memudahkan mereka bersembunyi dari panas dan pemangsa. Mereka juga memiliki sedikit lemak dan bulu, serta teknik unik seperti membuka sayap dan terengah-engah untuk mengatur suhu tubuh.

Namun, keunggulan terbesar penguin Galápagos adalah kemampuan fleksibel dalam menjadwalkan masa berganti bulu (molting) dan berkembang biak.

Berbeda dengan penguin lain yang memiliki musim kawin tetap, penguin ini menyesuaikan siklus hidupnya dengan ketersediaan makanan dari arus laut yang kaya nutrisi. Dalam tahun-tahun yang penuh makanan, mereka bisa berkembang biak hingga dua kali.

Polanya mengikuti siklus El Niño dan La Niña. Saat La Niña mendatangkan arus laut dingin dan kaya makanan, populasi penguin melonjak. Namun saat El Niño datang dan mengusir arus dingin, makanan langka dan banyak penguin kelaparan. Dalam El Niño parah tahun 1980-an, populasi mereka turun lebih dari separuh.

Kini, pemanasan global menyebabkan El Niño terjadi lebih sering dan lebih ekstrem, mengancam pasokan makanan dan tempat bersarang.

Boersma, yang telah meneliti penguin Galápagos selama lebih dari 50 tahun, memperkirakan hanya tersisa sekitar 2.000 ekor—kurang dari setengah populasi saat ia pertama kali meneliti mereka.

Namun ia masih optimis. Selama arus laut dalam tetap membawa nutrisi ke ekosistem, sebagian penguin akan terus bertahan.

Ia menekankan pentingnya tindakan manusia untuk membantu mereka, terutama dengan mengendalikan predator asing seperti tikus dan kucing serta melindungi habitat bersarang alami yang makin terancam.

Masalah pertama—ancaman dari predator asing—sebenarnya cukup jelas solusinya. Tikus dan kucing pertama kali dibawa ke Galápagos hampir 200 tahun lalu oleh para pelaut dan pemburu paus. Kedua hewan ini mampu memanjat medan terjal dan menyusup ke sarang-sarang burung laut, termasuk penguin, untuk memakan telur dan anak-anaknya.

Untuk mengatasi hal ini, Taman Nasional Galápagos bekerja sama dengan organisasi lingkungan Jocotoco meluncurkan program pemberantasan spesies invasif di Pulau Floreana, yang terletak di bagian selatan kepulauan.

Pada Oktober 2023, pengelola taman mulai membasmi tikus dan kucing liar menggunakan jebakan serta helikopter ringan tanpa awak yang menyebarkan umpan beracun dalam bentuk pelet dan sosis yang dicampur racun ke seluruh pulau.

Program ini menunjukkan hasil positif. Sebelumnya, hanya sedikit penguin yang bertahan di sana, kata Boersma, “dan itu pun dengan susah payah.” Dengan menghapus predator dan terus memantau keberadaannya, “penguin memiliki peluang nyata untuk bertahan dalam jangka panjang.”

Untuk mengatasi ancaman kedua—berkurangnya lokasi bersarang yang aman—Boersma dan timnya berencana mencari dana guna membangun sarang buatan dan membantu penguin kembali menghuni Floreana.

Ide ini muncul ketika Boersma melihat sepasang penguin bersarang di atas batuan lava tanpa naungan di Pulau Fernandina, bagian barat kepulauan. Pasangan itu bergantian menjaga telur dari sore hingga pagi, tetapi terpaksa meninggalkan sarang saat siang hari karena panas ekstrem. Akibatnya, telur-telur itu mati.

Dari pengamatan itu, Boersma menyadari bahwa kekurangan tempat bersarang yang teduh mungkin menjadi faktor utama rendahnya jumlah anak penguin yang berhasil menetas setiap tahun.

Dengan menyediakan sarang buatan di lokasi strategis, para peneliti berharap bisa membantu spesies ini berkembang biak lebih baik di tengah perubahan iklim dan tekanan lingkungan yang makin berat.

---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News  https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam!