Gandhi dan Jawaharlal Nehru, pemimpin National Congress lainnya, percaya bahwa India yang merdeka harus menjadi satu negara yang bersatu. Muslim League juga mendukung pemerintahan sendiri. Namun pemimpinnya Muhammad Ali Jinnah secara terbuka meninggalkan perjuangan India yang bersatu pada tahun 1940.
Indian National Congress menyebut dirinya sebagai partai untuk semua orang India. Meski begitu, anggota Muslim League khawatir partai itu hanya mewakili kepentingan Hindu. India yang bersatu, menurut Jinnah, akan memberikan kendali kepada umat Hindu atas minoritas Muslim. Sebaliknya, partai tersebut menuntut otonomi melalui pembentukan negara yang disebut Pakistan.
Masalah menjadi lebih rumit ketika, pada tahun 1946, perundingan antara kedua kelompok tersebut gagal. Jinnah menyerukan “direct action day” untuk protes Muslim. “Kita akan memiliki India yang terbagi atau India yang hancur,” katanya.
Seruan itu mengakibatkan bencana. Pada tanggal 16 Agustus 1946, kerusuhan Muslim-Hindu meletus di Kalkuta, ibu kota provinsi Benggala.
“Suasananya sangat menegangkan,” tulis seorang pejabat militer dalam sebuah laporan. “Hasil dari kerusuhan ini adalah ketidakpercayaan total antara masyarakat.”
Diperkirakan 4.000 orang tewas dan 10.000 orang terluka dalam konflik tersebut, dan 100.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Inggris mengawasi pemisahan yang tergesa-gesa
Ketika India berada di ambang perang saudara, minat Inggris untuk mempertahankan kendalinya yang mulai memudar pun menguap. Menghadapi tekanan internasional untuk mundur, George VI mengirim sepupunya, Lord Louis Mountbatten, ke India pada Maret 1947. Ias mengatur penarikan mundur Inggris.
Mountbatten meyakinkan para pemimpin untuk menyetujui pembentukan dua negara baru. India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim. Namun meskipun diberi waktu 1 tahun untuk menyelesaikan tugasnya, ia mempercepat jadwalnya.
Mountbatten memberi Cyril Radcliffe, pengacara Inggris yang belum pernah menginjakkan kaki di India, hanya 5 minggu untuk membagi negara menjadi dua. Radcliffe juga harus menandai batas-batas negara baru. Negara-negara kerajaan dapat memutuskan negara mana yang ingin mereka ikuti.
Radcliffe dan timnya diperintahkan untuk menggambar batas-batas yang menghormati mayoritas agama dan memprioritaskan batas-batas yang bersebelahan. “Garis Radcliffe” mudah digambar di daerah-daerah dengan mayoritas yang jelas.
Namun Radcliffe segera menemukan bahwa kelompok-kelompok agama tersebar di seluruh India. Di daerah seperti Bengal dan Punjab, yang memiliki populasi Hindu dan Muslim yang hampir sama, menggambar garis terbukti sangat sulit.