Nationalgeographic.co.id—Pada malam tanggal 13 Agustus 1947, Suri Sehgal yang berusia 13 tahun begitu gembira hingga tidak bisa tidur. Keesokan harinya, ia menyaksikan penurunan bendera Inggris dan pengibaran bendera baru di provinsi asalnya, Punjab.
Dulunya merupakan bagian dari India, kotanya kini menjadi bagian dari negara baru bernama Pakistan. Negara India yang baru saja dibatasi batas wilayahnya akan menjadi negara yang memerintah sendiri sehari kemudian.
Sehgal mengingat stasiun kereta Lalamusa tempat upacara bendera Pakistan berlangsung. Suasananya penuh optimisme. Bersama keluarga dan teman-temannya, mereka menyantap hidangan istimewa untuk merayakan hari bersejarah itu.
“Kami semua merayakan bersama,” kenang Sehgal. “Itu luar biasa.”
Namun dalam hitungan jam, transisi kekuasaan yang telah lama ditunggu-tunggu, yaitu Pemisahan India menjadi dua negara. India yang mayoritas beragama Hindu dan Pakistan yang mayoritas beragama Muslim.
Pemisahan itu berubah menjadi mimpi buruk karena ketegangan sekuler yang membara pun akhirnya memuncak. Ketegangan itu dipicu oleh pemerintahan kolonial yang memecah belah.
Malam itu, Sehgal menyaksikan dengan ngeri saat ratusan orang yang membawa pisau dan senjata lainnya berlarian. Mereka memburu orang-orang Hindu untuk diserang.
Beberapa hari kemudian, ayah Sehgal mendorong mereka ke dalam kereta yang penuh sesak dan gerah. Sang ayah khawatir akan keselamatan anak-anaknya yang setengah Hindu. Mereka naik kereta dari stasiun yang sama tempat mereka merayakan kemerdekaan Pakistan.
Saat kereta pengungsi itu melaju pelan ke selatan menuju India. Penumpangnya yang kelelahan dihadapkan dengan tumpukan mayat yang dimakan burung nasar di sepanjang rel.
Sehgal adalah satu dari jutaan orang India dan Pakistan yang hidupnya terganggu—atau berakhir—selama Pemisahan (Partition).
Di permukaan, pembentukan dua negara yang memerintah sendiri pada Agustus 1947 merupakan kemenangan bagi yang mendambakan penentuan nasib sendiri. Namun, ketegangan sekuler yang membara dan transisi yang salah urus mengubah keluarnya Inggris dari koloni itu menjadi pertumpahan darah.
Baca Juga: Penyebab Konflik India Pakistan: Mengapa Kashmir Terus Memicu Sengketa Kedua Negara?
Akar kolonial Pemisahan
Akar Pemisahan berawal dari abad ke-17. British East India Company adalah sebuah perusahaan swasta yang memperdagangkan kekayaan India seperti rempah-rempah dan sutra.
Saat itu, perusahaan tersebut mulai menguasai wilayah India serta mengambil alih pemerintahan daerah. Mereka bahkan membuat undang-undang yang bertentangan dengan tradisi budaya yang telah lama ada.
Pada tahun 1857, tentara India memberontak. Pemberontakan itu mendorong pemerintah Inggris untuk membubarkan perusahaan tersebut dan mengambil alih India. Pemerintahan Inggris yang baru berdiri menunjuk pejabat untuk menjaga agar koloninya tetap patuh. Namun banyak di antaranya belum pernah menginjakkan kaki di India sebelumnya.
Para administrator Inggris memiliki hak istimewa dan keluarga mereka hidup dalam kekayaan dan kemewahan. Sementara sebagian besar orang India hidup dalam kemiskinan.
Inggris menguras kekayaan India dan mengambil keuntungan dari sumber daya alamnya. Saat itu, Inggris membagi 60 persen negara itu menjadi provinsi-provinsi dan mengakui ratusan “negara-negara kerajaan” yang sudah ada sebelumnya. Negara kerajaan merupakan entitas otonom yang diawasi oleh penguasa lokal.
Untuk mempertahankan dominasinya, Raja Inggris sengaja menekankan perbedaan antara komunitas agama dan etnis. Administrator kolonial menggunakan ciri-ciri seperti agama dan warna kulit untuk memisahkan dan mengisolasi rakyat.
Mereka akhirnya menetapkan peran politik yang terbatas bagi orang India. Namun proses untuk mendapatkan posisi tersebut sering kali mengadu domba umat Hindu dan Muslim.
Lord Curzon, raja muda Inggris untuk India, semakin memperparah perpecahan ini pada tahun 1905. Ia membagi provinsi terbesar India, Bengal, menjadi dua: satu mayoritas Muslim, yang lainnya mayoritas Hindu.
Curzon adalah seorang kolonialis yang gigih yang percaya bahwa orang India lebih rendah. Karena itu, ia menghadapi perlawanan tajam terhadap upaya untuk “memecah belah dan menguasai” ini.
Perpecahan itu hanya berlangsung hingga tahun 1911. Tapi hal itu memicu gerakan kemerdekaan yang berkembang di dalam Indian National Congress. Indian National Congress adalah sebuah partai politik yang dibentuk oleh para elite terpelajar untuk bernegosiasi dengan British Raj. Perpecahan itu juga memacu pembentukan Muslim League, sebuah partai politik yang memperjuangkan hak-hak Muslim di India.
Baca Juga: Sejarah Konflik India-Pakistan: Dimulai dari Kegamangan Maharaja Kashmir
Perjuangan untuk India yang merdeka
Pada awal abad ke-20, pengacara dan politikus Mohandas “Mahatma” Gandhi terpilih menjadi anggota Indian National Congress. Ia mulai memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris melalui pembangkangan sipil tanpa kekerasan. Namun, boikot, demonstrasi, dan pawai ditanggapi dengan kebrutalan dan tindakan keras hukum.
Pejabat Inggris berusaha menenangkan kaum nasionalis. Mereka memberikan hak pilih kepada lebih banyak orang dan meningkatkan perwakilannya dalam pemerintahan daerah. Reformasi ini hanya menguntungkan sekelompok kecil orang India. Pada tahun 1935, hanya 12 persen warga negara yang dapat memberikan suara.
Kemudian, Inggris memasuki Perang Dunia Kedua—dan membawa serta India. Terpaksa membela kepentingan penjajah mereka dengan darah mereka sendiri, banyak orang India menentang perang tersebut.
Untuk mendapatkan dukungan, pemerintah Inggris menawarkan status India sebagai wilayah jajahan milik Inggris. India dapat memerintah dirinya sendiri, tapi dengan pengawasan Inggris. Namun, Indian National Congress menolak rencana tersebut.
Pada tahun 1942, Gandhi meluncurkan “Quit India”. Quit India adalah sebuah kampanye pembangkangan sipil yang meluas yang menuntut kemerdekaan segera. Inggris menanggapi dengan menangkap Gandhi dan para pemimpin lainnya serta melarang Indian National Congress.
Tindakan tersebut menjadi bumerang: tindakan keras tersebut menggembleng banyak orang yang sebelumnya tidak mendukung kemerdekaan. Kerusuhan meluas dan penahanan massal pun terjadi. “Quit India” telah ditekan.
Di saat yng sama, bencana kelaparan di Benggala menewaskan jutaan orang pada tahun 1943. Semua itu meyakinkan para pemimpin Inggris bahwa masa depan India sebagai koloni yang patuh akan hancur.
Visi yang bertentangan untuk India yang merdeka
Kemerdekaan mulai tampak dalam genggaman India, perpecahan antara Indian National Congress dan Muslim League semakin dalam.
Baca Juga: Perang India Pakistan: Prediksi, Skenario, dan Dampak Perang Nuklir yang Mungkin Terjadi
Gandhi dan Jawaharlal Nehru, pemimpin National Congress lainnya, percaya bahwa India yang merdeka harus menjadi satu negara yang bersatu. Muslim League juga mendukung pemerintahan sendiri. Namun pemimpinnya Muhammad Ali Jinnah secara terbuka meninggalkan perjuangan India yang bersatu pada tahun 1940.
Indian National Congress menyebut dirinya sebagai partai untuk semua orang India. Meski begitu, anggota Muslim League khawatir partai itu hanya mewakili kepentingan Hindu. India yang bersatu, menurut Jinnah, akan memberikan kendali kepada umat Hindu atas minoritas Muslim. Sebaliknya, partai tersebut menuntut otonomi melalui pembentukan negara yang disebut Pakistan.
Masalah menjadi lebih rumit ketika, pada tahun 1946, perundingan antara kedua kelompok tersebut gagal. Jinnah menyerukan “direct action day” untuk protes Muslim. “Kita akan memiliki India yang terbagi atau India yang hancur,” katanya.
Seruan itu mengakibatkan bencana. Pada tanggal 16 Agustus 1946, kerusuhan Muslim-Hindu meletus di Kalkuta, ibu kota provinsi Benggala.
“Suasananya sangat menegangkan,” tulis seorang pejabat militer dalam sebuah laporan. “Hasil dari kerusuhan ini adalah ketidakpercayaan total antara masyarakat.”
Diperkirakan 4.000 orang tewas dan 10.000 orang terluka dalam konflik tersebut, dan 100.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Inggris mengawasi pemisahan yang tergesa-gesa
Ketika India berada di ambang perang saudara, minat Inggris untuk mempertahankan kendalinya yang mulai memudar pun menguap. Menghadapi tekanan internasional untuk mundur, George VI mengirim sepupunya, Lord Louis Mountbatten, ke India pada Maret 1947. Ias mengatur penarikan mundur Inggris.
Mountbatten meyakinkan para pemimpin untuk menyetujui pembentukan dua negara baru. India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim. Namun meskipun diberi waktu 1 tahun untuk menyelesaikan tugasnya, ia mempercepat jadwalnya.
Mountbatten memberi Cyril Radcliffe, pengacara Inggris yang belum pernah menginjakkan kaki di India, hanya 5 minggu untuk membagi negara menjadi dua. Radcliffe juga harus menandai batas-batas negara baru. Negara-negara kerajaan dapat memutuskan negara mana yang ingin mereka ikuti.
Radcliffe dan timnya diperintahkan untuk menggambar batas-batas yang menghormati mayoritas agama dan memprioritaskan batas-batas yang bersebelahan. “Garis Radcliffe” mudah digambar di daerah-daerah dengan mayoritas yang jelas.
Namun Radcliffe segera menemukan bahwa kelompok-kelompok agama tersebar di seluruh India. Di daerah seperti Bengal dan Punjab, yang memiliki populasi Hindu dan Muslim yang hampir sama, menggambar garis terbukti sangat sulit.
Pada akhirnya, Radcliffe dan timnya—tak seorang pun memiliki keahlian dalam pembuatan peta atau politik dan budaya India—membagi kedua provinsi menjadi dua. Mereka memberikan sekitar setengahnya kepada setiap negara baru.
Hal ini berarti negara baru Pakistan tidak akan menjadi negara yang bersebelahan. Sebagian besar daratannya terletak di sudut barat laut India, dengan sebagian yang disebut Pakistan Timur yang terletak di Benggala di barat.
Keputusan itu sangat menentukan. Keputusan itu membuat ratusan ribu umat Hindu dan Muslim terdampar di negara baru yang “salah”. Dan juga memisahkan Benggala dari wilayah Pakistan lainnya sejauh 1.600 km.
Pada tanggal 14 dan 15 Agustus 1947, Pakistan dan India menjadi wilayah kekuasaan mahkota Inggris. Mereka pada akhirnya akan sepenuhnya merdeka. Namun Mountbatten menolak untuk menerbitkan peta tersebut hingga 2 hari kemudian. Maksudnya adalah untuk menjaga fokus internasional pada kebaikan hati Inggris.
Akibat berdarah dari Pemisahan
Apa yang disebut Inggris sebagai kemenangan sebenarnya adalah awal dari migrasi manusia terbesar dalam sejarah. “Pemisahan ini merupakan salah satu episode paling brutal umat manusia,” tulis Erin Blakemore di laman National Geographic.
Karena tidak yakin di mana batas wilayah telah ditetapkan—dan di negara mana mereka tinggal saat ini—sebanyak 18 juta orang mengemasi barang-barang mereka. Mereka berangkat untuk mencapai negara yang “tepat”.
Kebingungan dan ketakutan yang terjadi kemudian bagaikan pemantik bagi ketegangan Hindu-Muslim yang sudah berlangsung lama. Retorika terpolarisasi selama bertahun-tahun. Dendam lama menjadi mematikan. Permusuhan baru muncul di antara mereka yang status minoritas dan mayoritasnya tiba-tiba berubah.
Para penyerang menculik dan memerkosa puluhan ribu wanita; orang-orang membantai anggota keluarga mereka sendiri. Massa menyerang para pengungsi dan penduduk desa. Mereka membakar gedung-gedung, menjarah rumah dan bisnis. Juga melakukan pembunuhan massal.
Kekerasan itu sangat mengerikan di Punjab dan Bengal. “Di Punjab, mantan tentara Perang Dunia II menggunakan senjata mereka atas nama eliet lokal yang,” tulis sejarawan Mytheli Sreenivas.
“Mereka menggunakan kekacauan pemisahan untuk menyelesaikan masalah lama, menegaskan klaim atas tanah, dan mengamankan kekuatan politik. Serta mengamankan ekonomi mereka sendiri,” tambah Sreenivas.
Meskipun negara-negara tersebut secara teknis merupakan wilayah kekuasaannya, Inggris tidak meredakan kekerasan tersebut.
Warisan Pemisahan
Kekerasan mereda sekitar tahun 1950. Namun satu hingga dua juta orang telah tewas dan kedua negara tersebut berubah selamanya. Pada tahun 1948, Gandhi dibunuh oleh seorang nasionalis Hindu yang dilaporkan menganggap pemimpin tersebut terlalu pro-Muslim.
Sementara itu, geografi Pakistan yang tidak biasa telah memicu ketegangan antara timur dan barat. Dan pada akhirnya mengarah pada dorongan untuk kemerdekaan Bangladesh. Sebagai rumah bagi 56 persen penduduk Pakistan, Pakistan Timur menerima lebih sedikit dana. Mereka juga memiliki kekuatan politik yang lebih sedikit daripada negara tetangganya di barat.
Pada tahun 1971, setelah beberapa dekade perselisihan, Bangladesh mendeklarasikan kemerdekaan. Pakistan melancarkan kampanye militer untuk menundukkan penduduk, membantai sedikitnya 300.000 warga sipil.
Otoritas Bengali mengeklaim jumlah korban 10 kali lebih tinggi. Mereka menyebutkan 3 juta orang tewas dalam genosida. Perang berdarah selama 8 bulan pun terjadi. Bangladesh resmi menjadi negara demokrasi sekuler yang merdeka pada tahun 1972.
Dalam 75 tahun sejak Pemisahan, pertikaian teritorial antara India dan Pakistan terus memanas. Pertikaian meletus menjadi empat perang dan serangan lintas batas yang terus berlangsung.
Pemisahan masih terasa menyakitkan bagi banyak orang yang mengalaminya secara langsung, seperti Suri Sehgal. Seluruh keluarganya selamat dan bersatu kembali di India pada akhir tahun 1947. Namun yang lainnya tidak seberuntung itu.
Bagi banyak orang di India, Pakistan, dan Bangladesh, kehilangan dan kenangan akan hari-hari yang berdarah dan tidak pasti itu masih menghantui.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!