7 Dekade Berlalu, Desa 'Korban' Konflik India-Pakistan Ini Masih Terus Berjuang

By Sysilia Tanhati, Selasa, 13 Mei 2025 | 12:00 WIB
Ilustrasi rakit. Bagi desa-desa yang terbagi antara India dan Pakistan, peta yang dibuat sejak Pemisahan 1947 masih menyebabkan kesulitan sehari-hari.
Ilustrasi rakit. Bagi desa-desa yang terbagi antara India dan Pakistan, peta yang dibuat sejak Pemisahan 1947 masih menyebabkan kesulitan sehari-hari. (Pexels/Luis Fernando Mancilla)

Setiap tahun, selama musim hujan, jembatan harus dibongkar dan diganti dengan layanan perahu. Namun pada puncak musim hujan, sungai meluap dan mengalir dengan deras. Pada saat itu, layanan perahu juga berhenti. Desa-desa berubah menjadi pulau terpencil, seperti yang terjadi setiap malam ketika transportasi perahu ditutup.

Ketakutan terjebak dalam baku tembak antara kedua negara selalu ada. India dan Pakistan telah berperang dalam dua perang besar sejak 1947. Ada beberapa pertempuran kecil dan konflik terbatas di Kargil pada 1999. Jika perang lain pecah, penduduk khawatir mereka tidak akan punya tempat untuk lari.

“Kami bisa saja terhapus dari muka bumi dalam semalam dan tak seorang pun akan tahu sebelum terlambat,” kata Jodh.

Hidup dalam ketidakpastian

Ketika batas wilayah internasional ditetapkan, sebagian wilayah berada di luar batas pagar India. Tidak ada pagar di sisi Pakistan.

Jodh memiliki 16 hektar tanah di dalam pagar dan dua hektar lainnya berada di luar pagar. Setiap pagi, penjaga perbatasan membuka gerbang pagar pada pukul 9 pagi. Para petani memiliki kartu identitas. Kartu itu harus mereka tunjukkan sebelum diizinkan bekerja di ladang mereka di sisi lain. Penjaga perbatasan mendampingi mereka sepanjang hari kerja.

Selama bertahun-tahun, banyak yang memilih untuk meninggalkan wilayah tersebut, terutama generasi muda. Sebagian besar desa saat ini dihuni oleh penduduk yang lebih tua.

“Kami telah mengirim anak-anak kami pergi. Mereka tidak punya kehidupan di sini, tidak punya masa depan, tetapi kami tetap tinggal,” kata paman Jodh, Channan Singh. “Tanah adalah satu-satunya yang kami miliki; itu mata pencaharian kami. Bagaimana kami bisa meninggalkannya?”

Pada suatu pagi yang cerah di musim ini, putra Jodh, Manjit, 40 tahun, menaiki perahu ke Mammi Chak Ranga. Ia membawa muatan pupuk dan peralatan pertanian yang berat. Istrinya, Rajinder Kaur, 35 tahun, membawa tas besar berisi makanan karena hari sudah malam sebelum mereka kembali ke rumah.

“Jika kami tinggal, akan sulit, jika kami pindah, akan lebih sulit lagi,” katanya. “Namun akhirnya kami sepakat untuk pindah demi masa depan anak-anak kami.”

Manjit Singh dan semua tetangganya yang masih muda meninggalkan daerah itu pada akhir tahun 1980-an. Mereka pindah setelah musim banjir yang sangat buruk ketika mereka kehilangan rumah dan tanah yang luas. Mereka menetap di sebuah desa sekitar 16 km jauhnya.

Baca Juga: Sejarah Konflik India-Pakistan: Dimulai dari Kegamangan Maharaja Kashmir