“Sekarang, perempuan tidak mau mengambil risiko,” kata Baljeet. “Mereka pergi ke daratan saat hendak melahirkan.”
Jembatan permanen dapat mengubah hidup mereka secara drastis. Misalnya, keluarga Manjit menanam tebu. Ia mengatakan setelah panen, mereka membutuhkan waktu seharian penuh untuk mengangkut hasil panen ke seberang. Karena mereka harus melewati beberapa jembatan terapung yang ada saat ini untuk memastikan muatannya tidak terlalu berat. Pekerjaan itu hanya akan memakan waktu 30 menit dengan jembatan permanen.
Namun, permohonan yang berulang-ulang untuk pembangunan jembatan tidak digubris oleh pemerintahan.
Penduduk desa terpaksa memboikot pemilihan umum negara bagian. Tujuannya agar perjuangan mereka mendapat perhatian yang sangat dibutuhkan. Perwakilan pemerintah berjanji akan membangun jembatan.
Perubahan iklim dan banjir
Gurdaspur adalah distrik rawan banjir yang dikelilingi oleh Sungai Ravi dan Beas serta banyak anak sungai kecil. Seperti wilayah lain di India, wilayah ini juga merasakan dampak perubahan iklim dalam bentuk cuaca yang tidak menent. Curah hujan yang sedikit pun bisa menyebabkan peningkatan banjir.
Pada tahun 2001, Bendungan Ranjit Sagar dibandun di perbatasan Punjab dan Jammu. Bendungan itu berhasil mengurangi kemungkinan terjadinya banjir bandang di Sungai Ravi sampai batas tertentu. Namun, tidak demikian halnya di sekitar Makaura Pattan, tempat beberapa badan air berpotongan dan alirannya paling deras.
Penduduk mengatakan banjir telah menghanyutkan sekitar 150 hektar lahan selama bertahun-tahun. Desa Mammi Chak Ranga dulunya membentang seluas seratus hektar. Sekarang hanya tersisa sekitar 20 hektar, kata Jodh. Keluarganya kehilangan rumah asli mereka selama banjir tahun 1988—salah satu musim banjir terburuk di Punjab.
Terdampar di pulau terpencil tanpa fasilitas medis apa pun adalah kenyataan yang menyedihkan. Istri Jodh meninggal karena serangan jantung di tengah malam. Namun, ia menelepon anak-anaknya hanya 1 jam sebelum layanan perahu dijadwalkan dimulai. “Mereka tidak akan bisa datang sebelum layanan perahu dimulai,” kata Jodh. “Jadi, saya menunggu.”
Kepedihan akibat perpisahan yang dipaksakan mengalir dalam kehidupan mereka lintas generasi—sejalan dengan pasang surut sungai. Simarjit Singh, 17 tahun, tinggal di daratan utama bersama orang tuanya. Setiap hari ia menyeberangi sungai setelah sekolah untuk membantu kakek-neneknya mengerjakan tugas sehari-hari. Ketika ia bersiap untuk pulang ke rumah pada malam hari, neneknya selalu mengantarnya ke pintu. Tidak ada jaminan dia akan kembali keesokan harinya. Jembatan apung bisa rusak lagi atau perahu tidak bisa berlayar jika sungai meluap terlalu tinggi.
Pengembaraan seorang tukang perahu
Suatu pagi ketika sungai sangat deras, perahu itu terjebak di tengah arus. Setelah berusaha keras, tukang perahu, Narinder Singh, berhasil membawanya ke tepian. Namun, perahu itu tidak akan berlayar lagi hari itu. Simarjit terjebak di sisi lain, tidak dapat memeriksa kakek-neneknya. “Hari-hari ini adalah yang terburuk,” katanya. “Ketika kami berdiri di sisi sungai ini dan hanya bisa berharap mereka selamat.”
Narinder yang berusia 40 tahun, yang lahir di desa Tur, meneruskan tradisi keluarga. Ayahnya adalah salah satu tukang perahu pertama yang ditunjuk pemerintah di wilayah tersebut. Narinder, yang sekarang tinggal di daratan utama, adalah pekerja swasta yang berpenghasilan Rs10.000 per bulan (Rp1.950.000). Jumlah itu sedikit, mengingat risiko yang diambilnya setiap hari untuk mengangkut orang menyeberang. Namun, mengatasi rintangan menciptakan ikatan dan, tanpa bantuan dari pemerintah, bertahan hidup di sini merupakan upaya masyarakat.
Perahu yang lepas landas lebih awal pada pagi yang penuh gejolak itu adalah struktur baja yang kokoh. Perahu itu membutuhkan upaya masyarakat untuk mendorongnya ke lepas pantai. Saat tukang perahu mengambil lambung kapal, ia berteriak kepada para penumpang untuk mengambil dayung di ujung lainnya. Upaya gabungan ini mendorong perahu maju. Terkadang, saat perahu terjebak di air dangkal, penduduk desa yang melompat masuk dan mendorong perahu ke arah desa-desa di sisi lain.
Narinder juga sangat menginginkan jembatan permanen, meskipun faktanya itu akan berarti kehilangan mata pencahariannya sendiri. “Berisiko untuk mengeluarkan perahu saat sungai sedang pasang,” katanya. Terkadang ia terpaksa melakukannya meskipun ia tidak memiliki pertimbangan yang matang, terutama saat terjadi keadaan darurat.
Narinder dan perahunya adalah satu-satunya penghubung ke pantai saat jembatan apung dibongkar. “Jika kita tidak membantu, siapa lagi yang akan membantu?”
---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.