7 Dekade Berlalu, Desa 'Korban' Konflik India-Pakistan Ini Masih Terus Berjuang

By Sysilia Tanhati, Selasa, 13 Mei 2025 | 12:00 WIB
Ilustrasi rakit. Bagi desa-desa yang terbagi antara India dan Pakistan, peta yang dibuat sejak Pemisahan 1947 masih menyebabkan kesulitan sehari-hari.
Ilustrasi rakit. Bagi desa-desa yang terbagi antara India dan Pakistan, peta yang dibuat sejak Pemisahan 1947 masih menyebabkan kesulitan sehari-hari. (Pexels/Luis Fernando Mancilla)

Setiap pagi mereka meninggalkan rumah pada pukul 5.30 pagi dengan sepeda motor ke tempat pemberhentian perahu di Makaura Pattan. Kemudian mengangkat sepeda motor ke atas perahu untuk sampai ke seberang. Terkadang, ketika sungai mengalir deras, menunggu perahu bisa memakan waktu berjam-jam.

Dalam perjalanan pulang, perahu dipenuhi dengan sedikitnya lima sepeda motor, kaleng susu, dan siswa dari berbagai usia. Beberapa penumpang pergi ke pasar atau mengunjungi keluarga. Seorang wanita sedang dalam perjalanan untuk menghadiri pemakaman. “Mereka telah menungguku sejak tadi malam,” kata Jasvinder Kaur.

Empat sepupu yang berusia antara 9 hingga 17 tahun duduk bersama di lambung kapal sambil berbicara dengan nada pelan. Mereka berpakaian rapi dengan seragam sekolah masing-masing, rambut mereka diikat rapi dengan kepang. Mereka semua mengenakan sandal plastik, sangat kontras dengan seragam yang rapi.

Begitu kapal mencapai daratan, gadis-gadis itu berjalan ke tempat parkir terdekat untuk membuka skuter. Skuter tersebut akan membawa mereka ke sekolah mereka. Di sana, mereka mengganti sandal dengan kaus kaki dan sepatu, yang telah disimpan dalam tas agar tidak basah saat mereka bergegas naik ke kapal. Kemudian mereka berangkat, kepangan mereka berkibar tertiup angin.

“Kami sering ‘kehilangan’ hari sekolah, terutama selama musim hujan,” kata Sanamdeep, 14 tahun. Ia telah tinggal di Kajle sejak lahir. Pada minggu kedua bulan Juli, misalnya, gadis-gadis itu hanya bisa bersekolah selama 2 hari dari 7 hari.

Hari-hari penuh perjuangan

Hidup di sini sangat sulit bagi kaum wanita. Sanamdeep dan saudarinya naik feri pertama pukul 06.30 pagi. Mereka kembali ke rumah dengan feri terakhir pukul 19.00. Setelah sekolah, mereka mengikuti kelas tambahan. Sanamdeep sedang bersiap untuk masuk ke sekolah asrama.

“Semua perjalanan ini setiap hari—saya khawatir tentang keselamatan mereka,” kata Baljeet Kaur, ibu mereka. “Kami harus mengirim mereka pergi demi kebaikan mereka sendiri.”

Salah satu masalah paling serius yang dihadapi perempuan di daerah ini adalah kurangnya fasilitas perawatan kesehatan. Hal ini membuat kehamilan dan persalinan menjadi berisiko.

Saudara perempuan Sanamdeep lahir di Kajle pada dini hari. “Saya akan pergi ke rumah orang tua saya untuk melahirkan seperti yang dilakukan perempuan di sini. Namun rasa sakit persalinan saya mulai pada pukul 02.30 pagi. Kami tidak punya pilihan selain memanggil bidan setempat,” kata Baljeet.

Baljeet beruntung karena proses melahirkannya tanpa komplikasi, tetapi beberapa perempuan meninggal saat melahirkan di masa lalu. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat mencapai daratan tepat waktu.

Baca Juga: Konflik India Pakistan: Mana yang Lebih Unggul, Militer India atau Pakistan?