Pertaruhan Raja Ampat dan Sesal-Sesal Kehilangan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 7 Juni 2025 | 08:00 WIB
Memudarnya warna terumbu karang. Pada satu hingga tiga meter di bawah laut, karang yang memutih terlihat dari pemukiman terdekat. Karang ini terletak di pulau Yensawai Barat, Kepulauan Rajaampat, Papua Barat, Indonesia. Kepulauan Raja Ampat memiliki kekayaan sebagai lumbung ikan, geologi, dan masyarakat adat yang menjaganya. Bagaimana apabila kepulauan ini hilang? Apa saja kerugian kita?
Memudarnya warna terumbu karang. Pada satu hingga tiga meter di bawah laut, karang yang memutih terlihat dari pemukiman terdekat. Karang ini terletak di pulau Yensawai Barat, Kepulauan Rajaampat, Papua Barat, Indonesia. Kepulauan Raja Ampat memiliki kekayaan sebagai lumbung ikan, geologi, dan masyarakat adat yang menjaganya. Bagaimana apabila kepulauan ini hilang? Apa saja kerugian kita? (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Asal-usul Raja Ampat, Legenda Enam Telur dan Warisan untuk Empat Raja

Teladan etika ekologi masyarakat adat

Raja Ampat bersama Teluk Cenderawasih dan Kaimana, menjadi benteng terakhir biota laut yang terus menghadapi arus perubahan akibat alam dan manusia. Sasi, sasisen, serta egek adalah kearifan yang diwariskan lintas generasi. Tradisi ini mengajarkan kapan laut boleh dimanfaatkan dan kapan harus dibiarkan beristirahat, yang menjadikan kawasan ini cerminan kearifan sepanjang masa.

Dani Kosasih dalam kisah "Tuah Segara dan Janji yang Takkan Sirna" di National Geographic Indonesia edisi Mei 2025, berjumpa dengan Spenyer Malasamuk, tokoh adat suku Moi Malaumkarta, Kabupaten Raja Ampat. Spenyer menuturkan bahwa mereka melakukan ritual egek untuk melindungi kebutuhan warga Malaumkarta. Egek adalah salah satu bentuk konservasi kelautan dengan pendekatan hukum adat. Mereka juga tak ingin orang luar merusak kelestarian alam perairan ini.

“Kami hidup dan bergantung pada laut serta hutan kami. Ini bukan hanya tentang konservasi, tetapi juga tentang keberlanjutan hidup kami dan generasi mendatang,” ujarnya. 

Di pesisir Misool Utara, ia berjumpa Ribka Botot, perempuan tangguh dari Kampung Aduwei. Ribka dikenal sebagai pejuang keberlanjutan ekosistem laut, memimpin kelompok perempuan 'Joom Jak Sasi', yang menjaga dan mengelola wilayah sasi seluas 265 hektare. Ribka bersama para remaja perempuan dan ibu rumah tangga terlatih menyelam untuk mengambil teripang. 

Di pesisir Kapatcol, Misool Barat, Pendeta Yesaya Kacili memberkati upacara pembukaan sasi, budaya masyarakat adat untuk mengendalikan pengambilan hasil laut supaya tetap lestari. (GARRY LOTULUNG/NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA)

Menurut Ribka, seperti dituturkan kepada Dani, kehadiran Joom Jak Sasi mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang dulu hanya menjadi pendamping kini mengambil peran utama, sembari menopang ekonomi. Sasi yang dulu hanya konservasi semata, kini menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan perempuan. Ini sebuah terobosan karena perempuan masih jarang mendapat tempat dalam struktur adat.

Joom Jak Sasi di Misool Utara bukan kelompok perempuan pertama yang peduli konservasi di Kabupaten Raja Ampat. Sebelumnya kelompok perempuan 'Waifuna' di Misool Barat telah mengelola kawasan perariran. 

Kisah kelompok perempuan 'Waifuna' pernah diungkap dalam "Perempuan Penjaga Bahari Papua" oleh Afkar Aristoteles Mukhaer dan fotografer Garry Lotu­lung, terbit untuk edisi Juli 2023.  Mereka menjumpai Almina Kacili, penggerak kelompok perempuan di sana. Kaum perempuan dipercaya untuk menge­lola kawasan perairan konservasi berbasis hukum adat.

Upaya-upaya pelestarian pesisir menjadi penting dan mendesak karena perairan sekitar Raja Ampat menjadi bagian lumbung ikan di Segitiga Terumbu Karang. Masyarakat pesisir menjadi agen utama dalam upaya mencegah penangkapan ikan berlebih karena merugikan secara ekologi dan ekonomi.

Seni cadas yang menggambarkan masa yang lebih muda ditemukan di Situs Gua Kasam, Misool Timur, Raja Ampat. (Yosua Adrian Pasaribu, Sub Direktorat Registrasi Nasional, Kemendikbud)