Nationalgeographic.co.id—Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kian pesat tak hanya membawa geliat ekonomi dan urbanisasi, tetapi juga memunculkan persoalan sosial yang kompleks.
Peningkatan mobilisasi penduduk yang signifikan di sekitar proyek IKN turut berkorelasi dengan maraknya praktik prostitusi, sebuah fenomena yang kini menjadi sorotan serius aparat keamanan.
Di tengah upaya penegakan hukum, pertanyaan mendasar muncul: mengapa praktik pembelian seks ini begitu marak, dan apakah motif di baliknya hanya sebatas pemuasan nafsu belaka? Mungkinkah ada faktor psikologis atau sosial yang lebih dalam yang mendorong para pelaku?
Banyak Pria Memang Suka Membayar untuk Seks
Laporan tahun 2005 oleh profesor pekerjaan sosial Sven-Axel Månsson dari Universitas Malmö di Swedia mengungkapkan bahwa 16 persen pria di AS pernah membayar untuk seks.
Di Los Angeles, sebuah studi tahun 2000 oleh sosiolog Janet Lever dari California State University menemukan bahwa 28 persen pria yang menggunakan pekerja seks jalanan dan hampir setengah dari pengguna call girl membeli seks secara teratur.
Angka ini bervariasi antar negara. Månsson mencatat 14 persen pria Belanda pernah membeli seks, sedangkan di Spanyol, angkanya mencapai hampir 40 persen (prostitusi legal di kedua negara).
Di Jerman, yang juga melegalkan prostitusi, HYDRA, sebuah organisasi bantuan hukum bagi pekerja seks, mengklaim hingga tiga perempat pria pernah membayar layanan seksual, meskipun perkiraan lain menyebut sekitar seperlima.
Bahkan di Thailand, di mana prostitusi ilegal namun diterima secara sosial, sebuah studi menunjukkan 95 persen pria pernah berhubungan seks dengan pekerja seks.
Kelaziman perilaku ini, seperti dilansir laman scientificamerican.com, membuat para psikolog enggan menganggapnya sebagai patologis. Sebaliknya, motif pria membeli seks menjadi perdebatan sengit.
Ada yang berpendapat ini adalah "penawar" bagi penderitaan psikologis seperti nafsu atau romansa yang tak terpenuhi, sementara yang lain melihatnya sebagai dorongan chauvinistik, seperti keinginan untuk mendominasi wanita.
Baca Juga: Mengingat Gaydar, Studi Kontroversial yang Mampu Deteksi Orientasi Seksual Lewat AI