Lima Strategi Perlawanan Perempuan Madura Terhadap Pernikahan Dini

By , Jumat, 25 Mei 2018 | 16:21 WIB
Gadis 14 tahun menikah dengan bocah laki-laki berusia sama di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 2014. (Armin Hari/UN Photo)

Penulis: Tatik Hidayati/The Conversation

Tiadanya batasan yang definitif tentang usia minimal boleh nikah dalam hukum Islam, kerap dijadikan legitimasi oleh orang tua di Indonesia untuk menikahkan anak perempuan di bawah 16 tahun. Dampaknya di negeri ini, satu dari lima perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.

Survei UNICEF menunjukkan bahwa tradisi, agama, kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan ketidakamanan karena konflik adalah alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak-anak di Indonesia. Secara struktural, advokasi untuk menaikkan batasan minimal usia nikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun menemui tembok buntu karena hakim Mahkamah Konstitusi cenderung konservatif.

Perkawinan anak-anak tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tapi juga terjadi Madura, daerah yang memiliki tingkat kawin anak-anak tinggi di wilayah Jawa Timur. Di Sampang terdapat 17,47% kasus kawin anak, Pamekasan 19,39%, dan Sumenep 41,72%. Dari 9.000 pernikahan per tahun di Sumenep, lebih 60% adalah praktik kawin anak.

Baca juga: Pahami 'Rambu-rambu' Agar Pertemanan Tak Rusak Karena 'Politik Kantor'

Kawin anak merupakan tradisi buruk yang dianggap masyarakat harus diikuti oleh anak-anak perempuan di daerah ini sehingga mereka tidak boleh menolak. Orang tua akan menanggung aib jika mereka menolak perkawinan yang sudah diinginkan oleh orang tuanya. Keadaan ini diperburuk oleh budaya bahwa orang tua akan malu jika anak perempuannya sudah praban (gadis) tapi belum mendapatkan jodoh.

Anak-anak perempuan tidak hanya menerima pernikahan ini, tapi mereka juga melawan dengan berbagai cara untuk mengakhiri ikatan pernikahan.

Mengapa perempuan menerima praktik kawin anak?

Dalam riset saya di Kecamatan Dungkek Sumenep pada 2017 dengan data dari 25 informan yang menikah saat masih anak-anak menunjukkan hampir semua yang menjadi pengantin muda tersebut berakhir dengan perceraian. Mereka menikah pertama kali pada usia 7-15 tahun, baik secara bawah tangan (siri) maupun yang dicatatkan di pemerintah.

Anak-anak perempuan di kecamatan tersebut terpaksa menerima pernikahan anak, dengan berbagai alasan, baik yang diramaikan dengan pesta ngala’ tumpangan atau hanya selamatan.

Terungkap bahwa motif utama orang tua menikahkan anak-anak adalah ngala’ tumpangan, tradisi mengambil kembali sumbangan (dalam bentuk uang dan kebutuhan pokok seperti beras) yang sudah diberikan kepada saudara dan tetangga yang lebih dulu menggelar pesta pernikahan. Uang sumbangan yang didapat dari satu pesta nikah ini berkisar Rp 100-200 juta. Adapun orang biasanya menyumbang mulai ratusan ribu sampai jutaan rupiah.

Anak-anak dijadikan sebagai pengantin dalam hajatan tersebut untuk menarik kembali dana sumbangan yang telah dikeluarkan oleh orang tuanya. Ini terjadi karena orang tua begitu dominan dalam proses pengambilan keputusan untuk anak-anaknya.

Lalu apa alasan anak-anak menerima pernikahan yang tidak diinginkan tersebut? Setidaknya tiga alasan yang terungkap dari riset ini: