Lima Strategi Perlawanan Perempuan Madura Terhadap Pernikahan Dini

By , Jumat, 25 Mei 2018 | 16:21 WIB
Gadis 14 tahun menikah dengan bocah laki-laki berusia sama di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 2014. (Armin Hari/UN Photo)

Seorang informan, misalnya, membuat surat kepada suaminya yang isinya dia mencintai laki-laki lain dan meminta suaminya menceraikannya. Akhirnya keinginannya terkabul, keluarga suami datang dan mengurus perceraian. Akibatnya, orang tuanya marah besar, karena menganggap perempuan yang meminta cerai adalah suatu aib.

Ketiga, setelah pesta nikah usai, anak-anak perempuan ini dengan sengaja tidak mau melayani hubungan seksual yang diminta oleh suaminya. Bahkan ada yang mengatakan dia akan tetap berlaku seperti itu sampai laki-laki yang bukan pilihannya itu tidak tahan dan akhirnya menceraikannya. Biasanya orang tua mereka mencoba memberi pengertian supaya dia melayani suaminya.

Melayani suami adalah sebuah pemahaman yang sulit diterima oleh anak-anak. Mengapa ia harus melayani seseorang yang tidak ia sukai, bahkan tidak ia kenal sebelumnya. Pengetahuan tentang kewajiban suami istri memang tidak pernah ia peroleh sebelumnya.

Keempat, pergi dari rumah setelah acara pernikahan. Sebagian mereka kabur ke rumah neneknya karena anak tidak punya pilihan lain untuk menghindar dari perkawinan yang dipaksakan tersebut. Mereka akan tetap tinggal di tempat neneknya sampai suaminya menceraikannya. Tidak jarang mereka mendapat siksaan dari orang tuanya supaya kembali kepada suaminya.

Kelima, melanjutkan sekolah. Ini bentuk perlawanan yang paling tidak terlihat secara langsung sebagai sebuah perlawanan terhadap pernikahan. Hampir semua informan menjadikan sekolah sebagai alasan mereka tidak terdiam menjalani pernikahan. Di sekolah mereka dapat beraktivitas sebagai pelajar dan sekaligus dapat berkumpul dengan teman-teman sebaya mereka. Meski demikian kondisi tidak senantiasa berjalan lancar.

Faktanya beberapa dari mereka yang masih melanjutkan sekolah dipaksa untuk berhenti karena mulai kelihatan indikasi penolakan mereka terhadap pernikahan. Bahkan ada yang tinggal satu bulan ujian akhir mereka dipaksa berhenti sekolah, sebagaimana terjadi pada seorang informan.

Sedangkan dalam kasus gadis yang menikah siri pada usia 11 tahun, ia meminta orang tuanya mengirimnya ke pesantren setelah lulus sekolah dasar sebagai pelarian setelah dinikahkan secara siri tersebut. Menjelang lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA), orang tuanya meminta dia bersedia dinikahkan secara resmi di kantor urusan agama, tapi dia tolak. Tidak hanya sekali menolak, tapi dua kali menolak, dan setelah itu dia diceraikan oleh suami sirinya. Setelah lulus Madrasah Aliyah, dia melanjutkan kuliah ke universitas sehingga terlepas dari pernikahan dini.

Akibat perlawanan

Perlawanan ini dapat berdampak positif atau negatif bagi anak perempuan yang melawan. Positifnya, anak-anak terbebaskan dari pernikahan yang dipaksakan yang membuat mereka terbelenggu dan tersiksa oleh kondisi tersebut.

Perlawanan yang dilakukan oleh anak perempuan terhadap kawin anak mengandung berbagai risiko yang terkadang tidak terpikirkan. Dampak yang paling nyata adalah mereka menjadi janda pada usia muda, yang cenderung dinilai negatif oleh masyarakat.

Ini belum termasuk dampak psikologis yang diekspresikan anak menjadi tidak percaya diri dan menarik diri dari pergaulan teman sebayanya.

Baca juga: Kisah Cinta Rahasia Perawat Militer Amerika dengan Tahanan Perang Nazi

Dampak lainnya adalah intimidasi baik dalam bentuk fisik maupun psikis, termasuk dikucilkan dan tidak diakui sebagai anak, dari orang tua dan saudara-saudaranya karena perlawanan yang mereka lakukan dianggap mempermalukan keluarga.

Biasanya ini terjadi di awal perceraian, meski lambat laun orang tua mulai menerima dan dapat memaafkan anak perempuan berani melawan tersebut.

Gadis 14 tahun menikah dengan bocah laki-laki berusia sama di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 2014. (Armin Hari/UN Photo)
Karena itu, kini seharusnya pemerintah melarang perkawinan anak-anak untuk menyelamatkan masa depan mereka.

Tatik Hidayati, Lecture, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Madura

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.