Pertama, bagi yang sudah memahami tentang pernikahan, mereka terpaksa menerima pernikahan dini karena menuruti kehendak orang tua atau neneknya. Bagi pengantin yang masih sangat belia, mereka menerima karena ketidaktahuan tentang pernikahan. Mereka hanya tahu bahwa saat dinikahkan semua keinginannya dipenuhi oleh orang tuanya.
Informan berusia 20 tahun, yang dinikahkan pada usia 7 tahun bercerita:
“Saya dulu mau dimantenin karena senang saja seperti jadi ratu. (Saya) didandani, duduk di pelaminan, dan minta apa saja pasti dikasih. Meski orang tua saya sudah banyak mengeluarkan banyak uang untuk pesta pernikahan tersebut, tapi saya tidak merasa bersalah karena pesta nikah itu untuk menarik barang (dan uang) dari luar (orang lain). Bahwa akhirnya cerai, ya mungkin itu bukan jodoh saya.”
Informan lainnya, yang dikawinkan pada usia 7 tahun, terpaksa mau menikah karena keinginannya neneknya. Rupanya, calon suaminya masih keluarga jauh dan neneknya ingin hartanya tidak jatuh ke orang lain.
Kedua, membahagiakan orang tua mereka dengan menjadi pengantin untuk menarik sumbangan yang telah diberikan kepada banyak orang di kampungnya. Kesediaan mereka menjadi menjadi pengantin dalam pesta ngala’ tumpangan, karena menyelamatkan muka orang tua.
Ketiga, mereka bersedia dinikahkan karena mereka menyadari bahwa pernikahan ini hanya formalitas dan mereka dapat mengakhiri pernikahan itu setelah pesta pernikahan. Mereka menjadi pengantin dengan berpura-pura menikmati pesta ngala’ tumpangan.
Bentuk-bentuk perlawanan
Pola relasi kuasa yang timpang antara anak-anak dan orang tua melahirkan “pemberontakan”. Perlawanan, sebagaimana diungkapkan oleh James Scott, diwujudkan dalam dua tataran yakni (1) public trancript, di depan banyak orang anak perempuan menerima dominasi dari pihak yang kuat (orang tua dan suami), dan (2) hidden transcript, di luar “panggung” anak perempuan melawan secara diam-diam atau tersembunyi terhadap pihak yang kuat.
Perempuan yang nikah dini ini lebih banyak melawan secara diam-diam.
Bentuk perlawanan ini tidak selalu menentang nilai budaya dan agama yang berkembang di masyarakat Madura. Seperti ditunjukkan penelitian Siti Kusujiarti, perempuan menjalani tradisi yang tidak mereka inginkan, tapi mereka senantiasa melawan secara tersembunyi dalam bentuk perkataan dan praktik seperti desas desus, gosip, dan cerita yang dilakukan oleh perempuan.
Bentuk-bentuk perlawanan terhadap perkawinan anak, setelah mereka dinikahkan dengan paksa, adalah bercerai. Menurut pengakuan mereka, pihak yang menginginkan untuk bercerai adalah dari pihak perempuan. Mereka tidak mencintai suaminya karena pernikahan itu keinginan sepihak orang tuanya dan keluarga besan yang sebelumnya sudah menjalin komitmen bersama untuk menikahkan anak-anak mereka. Perlawanan itu diekspresikan dalam beberapa bentuk:
Pertama, pernikahan tetap dijaga sampai mempunyai anak. Mereka menjalaninya dengan menunjukkan ekspresi penolakan melalui pertengkaran rumah tangga yang mereka tunjukkan sebagai bentuk ketidakcocokan. Ini sengaja dilakukan oleh anak perempuan supaya suaminya segera menceraikannya. Mereka ingin segera keluar dari belenggu pernikahan yang dipaksakan.
Kedua, mencintai laki-laki lain sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan. Sikap ini merupakan sebuah keberanian anak perempuan dalam mengekspresikan keinginan mereka. Seolah mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai pilihan sendiri yang akan membuat hidupnya bahagia. Ungkapan ini terkadang tidak dalam bentuk ucapan, tapi sikap yang dipendam dan tetap memberontak.