LITE: Ketika Gawai Menjadi 'Senjata' Untuk Menaklukkan Visual

By Gregorius Bhisma Adinaya, Kamis, 7 Juni 2018 | 11:32 WIB
Buku foto berjudul LITE, karya Yuniadhi Agung. (Yuniadhi Agung)

"Sejak telepon selular (ponsel) dilengkapi dengan fitur kamera yang mumpuni, fotografi menjadi sebuah aktivitas yang kian menyenangkan. Kini fotografi menjadi milik setiap orang."

"... Dan dengan buku LITE, saya merayakan serunya memotret."

Demikian tulis Yuniadhi Agung, pewarta foto asal Magelang, dalam buku fotonya, LITE.

Agung mengawali karier sebagai pewarta foto pada tahun 2002 di Kompas. Selama 16 tahun bekerja sebagai fotografer profesional, Agung seakan terbebani oleh bobot kamera dan beberapa lensa yang selalu ia bawa. Namun kemajuan teknologi kamera dalam ponsel pun menyelamatkannya.

Baca juga: Para Arkeolog Temukan Jejak Hewan Paling Awal yang Pernah Ada di Bumi

Kelebihan dan kekurangan kamera ponsel, membuat Agung untuk berpikir secara beda dan keluar dari pola yang selama ini dilakukannya. "Keterbatasan fitur kamera ponsel memaksa saya untuk berpikir secara ringan. Tanpa perlu banyak berpikir, ketika saya menemukan hal yang menarik, potret saja dalam sekejap."

Berbagai aturan "sakral" dalam fotografi pun seakan tidak dapat membendung kreativitas Agung dalam memotret dengan ponsel.

Pendekatan baru yang dilakukan oleh Agung memang terkesan ringan, namun melalui LITE, dirinya seakan ingin membuktikan bahwa kualitas foto tidak bergantung pada alat. Melainkan pada kreativitas dan kekayaan imajinasi sang fotografer. Dengan kreativitas dan imajinasi, objek yang ditemui sehari-hari pun dapat menjadi "model" dalam sebuah karya foto yang menarik.

Buku foto dengan jumlah halaman sebanyak 128 halaman ini pun sampai di meja redaksi. Kesan pertama yang muncul adalah unik. LITE tidak hanya menyajikan foto yang berkualitas saja, namun komposisi tata letak juga menjadi bagian dari "pameran kecil" ini.

Desain sampul LITE membawa imajinasi kami kepada sebuah wajah, lengkap dengan sepasang mata dan mulut. Dengan sebuah simbol—mirip aksara Kanji—di depan, mungkin saja membawa imajinasi penikmat buku ini menjadi lebih dari sekadar wajah.

Baca juga: Juan Pujol, Mata-mata yang Memalsukan Kematiannya Selama 36 Tahun

Foto maneken dan foto lelehan lilin dapat menjadi makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang melihat. (Yuniadhi Agung)