Barulah pada 1980-an, dunia mulai menyadari bahwa Korea Utara serius dengan rencananya membangun nuklir. Kekuatannya pun ternyata jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Meskipun begitu, pemimpin Korea Utara pada saat itu, Kim Il-Sung, ikut meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty) di 1985. Perjanjian internasional ini dibuat untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir.
Sayangnya, pada 1989, Soviet runtuh dan membuat Korea Utara semakin terisolasi.
“Dengan jatuhnya Soviet, Korut kehilangan pelindung utamanya. Jika sudah begitu, apa yang bisa dilakukan untuk melawan kekuatan AS? Jawaban satu-satunya sangat jelas: yaitu senjata nuklir,” kata Keir Leiber, profesor Georgetown University.
Ketegangan antara AS dan Korut
Di tahun yang sama, AS mengetahui program nuklir rahasia Kim Il-Sung menggunakan citra satelit. Korea Utara terus mengembangkan nuklir meskipun telah berjanji tidak akan menguji atau memproduksi senjata berbahaya itu.
Sebagai hasilnya, International Atomic Energy Agency, organisasi pengawasan nuklir yang berada di bawah PBB, meminta adanya inspeksi di situs nuklir Korea Utara pada 1992 dan 1993. Tentu saja, Korut menolak – mereka bahkan mengancam untuk membatalkan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir jika inspeksi dilaksanakan.
Selain itu, Korea Utara juga menyatakan akan mengubah Seoul menjadi “lautan api” jika AS bekerja sama dengan PBB.
Ketegangan ini menciptakan krisis bagi Presiden Clinton. Pihak republiken menekannya untuk tidak melakukan negosiasi dengan Korea Utara. Sementara, lembaga internasional dan demokrat mengatakan bahwa berdamai adalah satu-satunya solusi.
Amerika Serikat mengirim Jimmy Carter ke Pyongyang untuk bertemu dengan Kim Il-Sung. Carter berhasil meyakinkan Il-Sung untuk berbicara soal nuklir. Namun, sebelum negosiasi berlangsung, Il-Sung meninggal dunia. Pemimpin Korea Utara selama puluhan tahun itu digantikan oleh anaknya, Kim Jong-Il -- yang mendirikan komplek nuklir paling kontroversial di negara tersebut.
Semuanya tampak suram, tetapi Clinton semakin yakin bahwa negosiasi langsung adalah satu-satunya jalan. Di sisi lain, para perunding di Amerika, sejak awal meragukan bahwa diplomasi akan berhasil.