Sebelum Era Trump dan Jong Un, AS-Korut Pernah Bernegosiasi Soal Nuklir Pada 1994

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 12 Juni 2018 | 17:28 WIB
Presiden Bill Clinton bersama Robert Galucci saat mengumumkan kesepakatan dengan Korea Utara pada 19 (Marcy Nighswander/Getty Images via History)

“Kontak awal dengan Korea Utara itu merupakan upaya kami mengatasi masalah keamanan dengan meminta mereka menyerahkan senjata nuklirnya. Banyak yang tidak yakin dengan cara ini, tapi tetap patut untuk dicoba,” kata Robert Galluci, pemimpin negosiator dari AS.

Selama 16 bulan, Gallucci dan timnya melaksanakan negosiasi yang intens dengan Korea Utara hingga akhirnya mencapai kesepakatan – Agreed Framework.

The Agreed Framework

Dengan panjang empat halaman, perjanjian itu mengatakan bahwa Korea Utara akan menutup reaktor nuklir utamanya di Yogbyon, dan dua situs lainnya. Selain itu, mereka juga akan menyegel bahan bakar yang berpotensi digunakan untuk membuat senjata nuklir.

Sebagai gantinya, AS akan menyediakan minyak untuk mengganti bahan bakar yang dilenyapkan dari pabrik nuklir. AS juga berjanji mencabut sanksi ekonomi, menghapus pembekuan diplomatik, dan tidak akan menyerang Korea Utara.

Di permukaan, sepertinya AS menawarkan konsensi besar kepada Korea Utara. Namun, di balik layar, pemerintahan Clinton berpikir bahwa Korea Utara sedang berada di ambang kehancuran dan tidak akan bertahan lama.

Clinton sadar, perjanjian tersebut akan menimbulkan kontorversi. Pihak republiken yang dari awal tidak setuju dengan negosiasi tersebut sangat marah. Mereka berhasil memegang kendali atas anggota Kongres. Pada akhirnya, Kongres menegaskan bahwa mereka tidak akan setuju untuk mendanai pelaksanaan proyek atau perjanjian perdamaian formal antara kedua negara.

Baca juga: Gurkha, Pasukan yang Akan Amankan Pertemuan Trump dan Kim Jong Un

Sementara itu, Korea Utara sendiri tidak menganggap serius kesepakatan tersebut. Menjadi negara miskin, terisolasi, dan dipimpin oleh seseorang yang sangat percaya dengan kekuatan nuklir, membuat Korea Utara enggan menghentikan programnya. Mereka terus memproduksi uranium dan mengabaikan peringatan AS.

Melihat hal ini, badan intelijen mulai menyadari bahwa Korea Utara mungkin memiliki teknologi nuklir yang lebih maju dari yang diperkirakan AS sebelumnya.

Kesepakatan gagal

Ketika George W. Bush menjadi presiden AS pada 2001, banyak orang menduga, ia akan melajutkan diplomasi Clinton dengan Korea Utara. Namun ternyata, semuanya berantakan. Diplomat pada masa pemerintahan Bush berhenti mengirimkan bahan bakar; Korea Utara juga mengeluh bahwa reaktor nuklir yang dijanjikan AS, tidak pernah dibangun.

Serangan teroris 9/11 mendorong diplomasi AS ke arah lain. Dalam pidatonya, Bush mengatakan bahwa Korea Utara merupakan satu dari tiga negara “Poros Kejahatan”.

Selanjutnya, hubungan antara dua negara ini kembali tegang. Pada 2003, Korea Utara keluar dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir. Dan pada 2006, Kim Jong-Il akhirnya melakukan uji nuklir pertamanya.