Presiden Bill Clinton berdiri di atas podium pada 18 Oktober 1994, sambil mengumumkan perjanjian nuklir yang penting antara Amerika Serikat dan Korea Utara.
“Perjanjian ini sangat bagus untuk Amerika Serikat, sekutu kita, dan keamanan dunia,” ujarnya meyakinkan masyarakat.
Disebut dengan Agreed Framework, itu dirancang untuk mengerem program nuklir Korea Utara. Juga mengakhiri ketegangan selama bertahun-tahun antar dua negara tersebut.
“Perjanjian ini merupakan langkah utama menuju semenanjung Korea bebas nuklir,” tambah Clinton.
Baca juga: Hal-hal yang Perlu Anda Tahu Tentang Korea Utara dan Program Nuklirnya
Sebagai gantinya, Amerika Serikat setuju untuk menjalin hubungan yang normal dengan Korea Utara. Keduanya berjanji untuk tidak menyerang satu sama lain dengan nuklir.
Kesepakatan itu sangat meyakinkan. Namun, mengapa pada akhirnya gagal beberapa tahun kemudian? Alasan utamanya berakar pada negosiasi di belakang layar dan adanya ketidakpercayaan dari pihak internasional.
Membangun senjata nuklir
Korea Utara telah mempersiapkan nuklir sejak Perang Dingin. Saat itu, Soviet melatih ilmuwan Korea Utara untuk membuat senjata nuklir.
Sebagai sesama anggota blok komunis, kedua negara ini sangat dekat. Moskow pun menyediakan teknologi, pelatihan, hingga survei geologi untuk membantu Korea Utara menemukan endapan grafit dan uranium yang dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir.
Menurut Derek Bolton dari American Security Project, program nuklir Korea Utara berjalan dengan baik sejak 1960an. Mereka juga telah melakukan percobaan nuklir yang sukses di bawah pengawasan Soviet pada 1963.
Selama bertahun-tahun, Korea Utara mencari dukungan untuk program nuklirnya. Termasuk mengajak Korea Selatan untuk mengembangkan senjata nuklir bersama secara rahasia. Namun, rencana itu ditolak oleh Korea Selatan.
Barulah pada 1980-an, dunia mulai menyadari bahwa Korea Utara serius dengan rencananya membangun nuklir. Kekuatannya pun ternyata jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya.
Meskipun begitu, pemimpin Korea Utara pada saat itu, Kim Il-Sung, ikut meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty) di 1985. Perjanjian internasional ini dibuat untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir.
Sayangnya, pada 1989, Soviet runtuh dan membuat Korea Utara semakin terisolasi.
“Dengan jatuhnya Soviet, Korut kehilangan pelindung utamanya. Jika sudah begitu, apa yang bisa dilakukan untuk melawan kekuatan AS? Jawaban satu-satunya sangat jelas: yaitu senjata nuklir,” kata Keir Leiber, profesor Georgetown University.
Ketegangan antara AS dan Korut
Di tahun yang sama, AS mengetahui program nuklir rahasia Kim Il-Sung menggunakan citra satelit. Korea Utara terus mengembangkan nuklir meskipun telah berjanji tidak akan menguji atau memproduksi senjata berbahaya itu.
Sebagai hasilnya, International Atomic Energy Agency, organisasi pengawasan nuklir yang berada di bawah PBB, meminta adanya inspeksi di situs nuklir Korea Utara pada 1992 dan 1993. Tentu saja, Korut menolak – mereka bahkan mengancam untuk membatalkan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir jika inspeksi dilaksanakan.
Selain itu, Korea Utara juga menyatakan akan mengubah Seoul menjadi “lautan api” jika AS bekerja sama dengan PBB.
Ketegangan ini menciptakan krisis bagi Presiden Clinton. Pihak republiken menekannya untuk tidak melakukan negosiasi dengan Korea Utara. Sementara, lembaga internasional dan demokrat mengatakan bahwa berdamai adalah satu-satunya solusi.
Amerika Serikat mengirim Jimmy Carter ke Pyongyang untuk bertemu dengan Kim Il-Sung. Carter berhasil meyakinkan Il-Sung untuk berbicara soal nuklir. Namun, sebelum negosiasi berlangsung, Il-Sung meninggal dunia. Pemimpin Korea Utara selama puluhan tahun itu digantikan oleh anaknya, Kim Jong-Il -- yang mendirikan komplek nuklir paling kontroversial di negara tersebut.
Semuanya tampak suram, tetapi Clinton semakin yakin bahwa negosiasi langsung adalah satu-satunya jalan. Di sisi lain, para perunding di Amerika, sejak awal meragukan bahwa diplomasi akan berhasil.
“Kontak awal dengan Korea Utara itu merupakan upaya kami mengatasi masalah keamanan dengan meminta mereka menyerahkan senjata nuklirnya. Banyak yang tidak yakin dengan cara ini, tapi tetap patut untuk dicoba,” kata Robert Galluci, pemimpin negosiator dari AS.
Selama 16 bulan, Gallucci dan timnya melaksanakan negosiasi yang intens dengan Korea Utara hingga akhirnya mencapai kesepakatan – Agreed Framework.
The Agreed Framework
Dengan panjang empat halaman, perjanjian itu mengatakan bahwa Korea Utara akan menutup reaktor nuklir utamanya di Yogbyon, dan dua situs lainnya. Selain itu, mereka juga akan menyegel bahan bakar yang berpotensi digunakan untuk membuat senjata nuklir.
Sebagai gantinya, AS akan menyediakan minyak untuk mengganti bahan bakar yang dilenyapkan dari pabrik nuklir. AS juga berjanji mencabut sanksi ekonomi, menghapus pembekuan diplomatik, dan tidak akan menyerang Korea Utara.
Di permukaan, sepertinya AS menawarkan konsensi besar kepada Korea Utara. Namun, di balik layar, pemerintahan Clinton berpikir bahwa Korea Utara sedang berada di ambang kehancuran dan tidak akan bertahan lama.
Clinton sadar, perjanjian tersebut akan menimbulkan kontorversi. Pihak republiken yang dari awal tidak setuju dengan negosiasi tersebut sangat marah. Mereka berhasil memegang kendali atas anggota Kongres. Pada akhirnya, Kongres menegaskan bahwa mereka tidak akan setuju untuk mendanai pelaksanaan proyek atau perjanjian perdamaian formal antara kedua negara.
Baca juga: Gurkha, Pasukan yang Akan Amankan Pertemuan Trump dan Kim Jong Un
Sementara itu, Korea Utara sendiri tidak menganggap serius kesepakatan tersebut. Menjadi negara miskin, terisolasi, dan dipimpin oleh seseorang yang sangat percaya dengan kekuatan nuklir, membuat Korea Utara enggan menghentikan programnya. Mereka terus memproduksi uranium dan mengabaikan peringatan AS.
Melihat hal ini, badan intelijen mulai menyadari bahwa Korea Utara mungkin memiliki teknologi nuklir yang lebih maju dari yang diperkirakan AS sebelumnya.
Kesepakatan gagal
Ketika George W. Bush menjadi presiden AS pada 2001, banyak orang menduga, ia akan melajutkan diplomasi Clinton dengan Korea Utara. Namun ternyata, semuanya berantakan. Diplomat pada masa pemerintahan Bush berhenti mengirimkan bahan bakar; Korea Utara juga mengeluh bahwa reaktor nuklir yang dijanjikan AS, tidak pernah dibangun.
Serangan teroris 9/11 mendorong diplomasi AS ke arah lain. Dalam pidatonya, Bush mengatakan bahwa Korea Utara merupakan satu dari tiga negara “Poros Kejahatan”.
Selanjutnya, hubungan antara dua negara ini kembali tegang. Pada 2003, Korea Utara keluar dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir. Dan pada 2006, Kim Jong-Il akhirnya melakukan uji nuklir pertamanya.