Legenda Piala Jules Rimet, Trofi Emas Piala Dunia yang Pernah Dicuri

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 16 Juni 2018 | 00:13 WIB
Trofi Piala Dunia (FIFA)

Penggemar sepakbola yang tak terhitung banyaknya dan tersebar luas dimana-mana, mendapatkan kabar bahwa piala dunia sepakbola ditemukan kembali.

Selama sepekan lebih dunia persepakbolaan diliputi rasa cemas, akan lenyapnya piala Jules Rimet.

Baca juga: Kisah Sedih Bunta, Gajah di Aceh yang Mati Diracun Demi Gadingnya

Di London orang khawatir kalau-kalau  piala yang terbuat dari emas ini dilebur oleh  si pencuri.  Di lain-lain negara para penggemar kecewa dan bertanya-tanya, sebuah hadiah pertaruhan yang demikian berharga, hadiah tertinggi bagi kejuaraan cabang olahraga yang terpopuler didunia, dapat dicuri.

Tentunya, seperti dikemukakan oleh Sir Stanley Reus, ketua F.I.F.A. sebuah replika dapat dibuat lagi, sekalipun perancangan dan pembuatannya sendiri akan memakan waktu lama.

Tetapi, untunglah piala dunia itu telah ditemukan kembali dalam keadaan utuh. Dan, cita-cita, impian-impian para olahragawan, para penggemar dapat dilanjutkan setelah terganggu selama sepekan.

Piala Jules Rimet yang tingginya lebih kurang 30 sentimeter, seluruhnya terbuat dari emas serta berbentuk sebuah patung kecil, melambangkan seorang wanita bersayap, “Dewi Kemenangan".

Patung ini menopang sebuah cawan bersegi delapan diatas kepalanya. Dalam bulan Juli tahun ini ia akan dipertaruhkan kembali diantara enam belas kesebelasan yang terkuat didunia.

Riwayat Jules Rimet Cup

Ide “Coupe de Monde” World Cup atau piala dunia, telah dicetuskan di Paris pada tahun 1904 dengan berdirinya FIFA. Tetapi baru pada tahun 1930 kejuaraan yang pertama dapat dilangsungkan.

Selama seperempat abad ide Coupe de Monde dipelihara dan dipupuk oleh orang-orang yang bercita-cita murni, orang-orang yang mencurahkan darma baktinya kepada perkembangna sepakbola, terutama secara internasional.

Di antara orang-orang itu menonjollah pribadi dua orang Prancis. Dua orang ini masing-masing berbeda watak tabiatnya, namun satu dalam kegemarannya dan kecintaannya terhadap olahraga sepakbola. Mereka itu ialah Jules Rimet dan Henri Delaunay.

Baca juga: Serupa Namun Tidak Sama, Banyak Jenis Ketupat yang Nyaris Punah

Jules Rimet terpilih selaku ketua FIFA pada tahun 1920 dan meletakkan jabatannya pada tahun 1954 tepat setelah kejuaraan dunia di Swiss selesai.

Jules Rimet dilahirkan pada tahun 1873. Orangnya bersifat halus, baik dalam percakapan maupun dalam tulisan . Pribadinya kuat dan meyakinkan, terutama karena bakatnya dalam diplomasi dan pergaulan.

Sering orang mencelanya juga karena sikapnya yang tak mau menyesuaikan diri dalam pendirian. Tetapi kegemarn dan kegairahannya terhadap olahraga sepakbola serta terhadap idenya tentang Coupe de Monde tak pernah diragukan.

Jules Rimet adalah orang suka berkelana. Di mana-mana ia memperoleh banyak sahabat. Mereka itu tertarik pada pribadinya, atau pada kegemarannya akan sepakbola.

Pada 1954 di kota Bomme, Swiss, Jules Rimet untuk terakhir kali menerimakan Coupe de Monde-nya kepada kapten kesebelasan juara dunia, yaitu Ftis Walter dari Jerman Barat. Setelah itu ia mengundurkan diri dari FIFA, terutama karena percekcokan di tubuh gederasi nasionalnya, FFF.

Pada tahun 1958 Jules Rimet meninggal dunia dalam usia 84 tahun. Dengan ini habislah juga riwayat pionir sepakbola yang tergigih di dunia pada waktu itu.

Baca juga: Peneliti India Temukan Planet yang Satu Tahunnya Berjumlah 19,5 Hari

Sehubungan dengan Coupe de Monde, Henri Delaunay tidaklah demikian terkenal seperti halnya dengna Jules Rimet. Seumur hidupnya hampir ia mencurahkan tenaganya untuk federasi nasionalnya, FFF, selaku sekretaris.

Akan tetapi, Delaunay adalha seorang yang berpandangan luas dan memiliki energi yang tak mempunyai batas. Bersamaan dengan Jules Rimet (sekalipun tidak selalu bersatu padu dalam pandangan dan pendirian). Delaunay merupakan seorang tokoh yang sangat berjasa dalam dunia persepakbolaan, di Prancis sendiri di Eropa, dan terutama di dunia untuk Coupe de Monde.

Henri Delaunay meninggal dunia tidak lama sebelum Jules Rimet. Ia pun oleh dunia dianggap sebagia pionir gigih dalam persepakbolaan internasional.

Hasil pertandingan sepakbola Ompik pada tahun 1924 di Paris telah mempercepat terlaksananya cita-cita kejuaraan dunia di bawah naungan panji-panji FIFA. Dari benua Amerika, khususnya Amerika Latin, yang selama itu dipandang masih terbelakang dalam olahraga sepakbola oleh Eropa, telah muncul antara lain kesebelasan Uruguay.

Tim ini, jangan sebelah tahun sebelumnya dijadikan kucing-kucing oleh kesebelasan kelas satu dari Inggris, kesegarannya dan kemahirannya dalam permainan telah mengagumkan para penggemar sepakbola.

Uruguay menonjol sekalipun di Paris itu kejuaraan Ompik digondol oleh Inggris tersebut. Empat tahun kemudian di Amsterdam kembali Uruguay menjadi tornoi sepakbola Olimpik.

Rentetan kejuaraan

Akhirnya  tahun 1930 ditetapkan sebagai titik permulaan daripada rentetan kejuaraan dunia yang diselenggarakan oleh FIFA, dalam mana semua pemain sepakbola dapat turut serta, baik yang amatir maupun yang bayaran.

Empat negara Eropa telah menyatakan bersedia menjadi tuan rumah, ditambah satu negara, Amerika Latin, yaitu Uruguay, juara dua Olimpiade.

Karena suksesnya yang gemilang dalam dua tornoi Olimpik, dan karena kebetulan sedang merayakan pesta seabad kemerdekaan, maka Uruguay dijadikan gelanggang yang pertama untuk turnamen perebutan piala dunia sepakbola.

Tetapi, tornoi pertama ini hanya merupakan bayangan belaka dari kejuaraan dunia yang dicita-citakan. Hanya 13 negara mengirim pemain-pemainnya ke Montevideo. Eropa hanya diwakili 4 negara: Yugoslavia, Belgia, Rumania, dan Prancis.

Yang berhasil menjadi juara ialah kesebelasan tuan rumah, Uruguay, yang dalam babak final mengalahkan Argentina dengan kesudahan 4 – 2. Dengan ini Uruguay adalah pemenang pertama dari kejuaraan dunia yang diselenggarakan FIFA.

Kejuaraan yang kedua pada tahun 1934 berlangsung di Italia di mana 16 kesebelasan terkuat dari 29 negara peserta berlomba. Kembali kesebelasan tuan rumah yang menangkan piala dunia, yaitu Italia. Runner-upnya Cekoslovakia.

Empat tahun kemudian di Paris, Italia berhasil mempertahankan gelarnya. Dalam babak final mereka mengalahkan Hongaria dengan 4 – 2. Dalam kejuaraan dunia inilah beberapa pemain Indonesia turut bertanding dalam kesebelasan nasional Belanda.

Antara lain ikut main Bing Ma Hing, sebagai penjaga gawang, Nawir dan Anwar sebagai gelandang. Hong Jin, Sudarmaji, Pattwael, dan Taihutu, sebagai pemain-pemain depan. Mereka kandas dalam babak pertama di Reins ketika dikalahkan oleh Hongaria dengan 0 – 6.

Baca juga: Sebelum Era Trump dan Jong Un, AS-Korut Pernah Bernegosiasi Soal Nuklir Pada 1994

Perang dunia menyebabkan terhentinya pertandingan-pertandingan kejuaraan dunia. Baru pada tahun 1950 penyelenggaraan dapat dimulai lagi. Dan Brasil dijadikan gelanggang terakhir untuk ke-16 kesebelasan yang terkuat.

Pertandingan berlangsung di Maracana Stadion di Rio de Janeiro, stadion raksasa dengan tribun bertingkat tiga, yang dapat memuat 200 ribu penonton. Di luar segala dugaan pada waktu  tuan rumah, Brasil, dikalahkan oleh Uruguay dalam babak final dengan skor 1 – 2.

Dalam kejuaraan yang ke-4 itu untuk pertama kalinya kesebelasan Inggris turut serta. Skotlandia, yang berhak pula mengirimkan pemain-pemainnya, menolak undangan. Pemain-pemain dan suporter-suporter Inggris sangat kecewa sekali ketika kesebelasannya terpaksa menelan kekalahan 0 -1 menghadapi kesebelasan Amerika Serikat.

Memang sega hal yang bersangkut-paut dengan sepakbola, AS berada setingkat di bawah Inggris – kecuali dalam daya tahan dan keberuntungan.

Baca juga: Beberapa Kebiasaan Sehari-hari yang Bisa Mempercepat Penuaan

Dengan kejuaraan pada tahun 1954 di Swiss dimulai permainan sepakbola modern, yang bermutu tinggi, cemerlang, dan bersendikan seni. Tetapi, dimulai juga permainan yang keras, sering juga kasar, dan di luar batas.

Dalam pertandingan seperempat final antara Megaria dan Brasil, yang dimenangkan Megaria dengan skor 4 – 2, wasit Halifax dari Inggris mengeluarkan dua pemain Brasil dan seorang pemain Hongaria dari lapangan.

Beberapa orang pemain dari kedua belah pihak, beberapa orang ofisial dan anggota polisi dapat luka-luka.

Beberapa hari kemudian Hongaria harus menghadapi Uruguay dalam babak semifinal. Pertandingan ini dipandang sebagia pertandingan yang terbaik dari seluruh tornoi di Swiss, permainannya keras tetapi bersih dan brilyan.

Setelah waktu diperpanjang Hongaria menang 4 – 2, tetapi kehilangan juga kesempatan untuk membawa pulang piala Jules Rimet.

Di babak final melawan Jerman Barat, Hongaria yang jelas masih merasakan akibat daripada dua pertandingan berat sebelumnya, bermain di bawah mutunya dalam babak pendahuluan menang.

Dalam delapan menit pertama Puskas cs masih mampu memperkembangkan kemahirannya, mereka leading dengan dua gol.

Tetapi setelah itu di lapangan yang basah dan licin pemain-pemain Jerman yang masih segar ternyata cepat dan lebih efektif. Setelah masa kemasan selama empat tahun, di mana dalam 33 pertandingan internasional tidak pernah dikalahkan sekalipun, Megaria gagal merebut piala emas Jules Rimet.

Mereka kalah 2 – 3 menghadapi Jerman. Banyak airmata dicucurkan, banyak caci makian dilancarkan di tanah air. Tetapi pemain-pemain Hongaria secara ksatria menerima kekalahan yang terpahit dalam kariernya.

Kejuaraan 1958 di Swedia memperjelas sifat permainan  sepakbola modern. Lebih diperjelaskan dan digarisbawahi ucapan Sir Stanley Rous, “There is no substitute for skill!” – tidak ada yang dapat menggantikan keahlian kemahiran dan kecerdikan pada akhirnya lebih menguasai kekuatan jasmaniah belaka serta kekasaran.

Brasil juga yang sebenarnya sejak 1950 merupakan kesebelasan yang terkuat di dunia, akhirnya menjadi juara dunia. Pada tahun 1950 di rumah sendiri mereka kekurangan pimpinan yang bijaksana dan cakap.

Di Swiss pada tahun 1954 mereka gagal karena kurang memiliki sifat dapat menahan diri, kurang disiplin. Pada tahun 1958 pemain-pemain Brasil, yang dalam kemahirannya dan teknikal tiada taranya, dikagumi juga, terutama karena disiplinnya yang teguh baik di atas lapangan maupun di luar.

1962 merupakan ulangan dari kejuaraan 1958. Di Chili kesebelasan Brasil mempertahankan kejuaraan secara mutlak.

Juli 1966 di Inggris

Di London dalam bulan Juli nanti akan berlomba ke-16 kesebelasan, yaitu dari Inggris, Prancis, Uruguay, dan Meksiko dalam pool A; Kerman Barat, Swiss, Spanyol, dan Argentina dalam pool B; Bulgaria, Brasil, Hongaria, dan Portugis, dalam pool C; serta Uni Soviet, Korea Utara, Chili, dan Italia dalam pool D.

Menurut enquete yang dilakukan di Eropa oleh beberapa kantor berita, kesebelasan yang memiliki peluang terbesar menggondol kejuaraan adalah  kesebelasan tuan rumah, Inggris, dengan runner-upnya Brasil.

Tetapi di samping itu kesebelasan-kesebelasan Uni Soviet dan Italia merupakan calon-calon yang kuat juga.

Apakah pemain-pemain Brasil dapat mempertahankan supremasinya, merupakan tanda tanya yang besar.

Baca juga: Seniman Ini Gunakan 25 Ribu Botol Plastik Bekas untuk Membuat Jembatan

Pemain seperti Pele misalnya, “mutiara hitam” , yang sekarang berusia 26 tahun, dan telah banyak mencicipi madu kehidupan dalam bentuk uang yang mengalir ke dalam kantongnya melalui kedua kaki emasnya, kini sudah mempunyai banyak imbangan-imbangan baik di Inggris sendiri maupun di benua Eropa daratan.

Kiranya turnamen kejuaraan dunia 1966 di London nanti akan menjadi gelanggang pertarungan yang seru dan hebat antara kesebelasan-kesebelasan terkuat di dunia, yang akan mengadul skill melawan skill, kekerasan melawan kekerasan.

(Ditulis oleh Tan Liang Tie. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1966)