Haul Ke-48 Sukarno: Nasi dengan Kecap di Akhir Kekuasaan 'Si Bung'

By Yoyok Prima Maulana, Kamis, 21 Juni 2018 | 13:57 WIB
Sukarno di akhir kekuasaan. ()

48 tahun lalu, salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus presiden pertama Indonesia, Sukarno, tutup usia.

Pada tanggal 21 Juni 1970, 15 hari setelah merayakan ulang tahun ke-69 tahun, Bung Karno meninggal dunia.

Baca juga: Kesaksian Para Pilot Penyintas Segitiga Bermuda, Kawasan Penuh Misteri

Walaupun memiliki banyak predikat 'agung' sebagai salah satu tokoh terbesar bangsa Indonesia, Bung Karno menjalani masa tuanya dalam penderitaan sebagai tahanan politik Orde Baru.

Beriktu ini sebuah kisah tragis mantan Presiden Soekarno di masa akhir kepemimpinannya.

Kisah ini dicuplik dari buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" terbitan Penerbit Buku Kompas 2014 dan ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti

Pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya.

Langsung dijawab oleh pelayan, “Tidak ada roti.” Soekarno menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang.”

Dijawab, “Itu pun tidak ada.” Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”

Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.” Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.

Baca juga: Dianggap Mengerikan, T-Rex Ternyata Tak Bisa Menjulurkan Lidahnya

Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.

“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.

Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”

Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.

Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara.

Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.

Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.

Ternyata itu hari pembebasannya. Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI. “Sudah, begitu saja,” kenangnya.

Baca juga: 80 Tahun Tak Terpecahkan, Pembunuhan Sadis Pamela Werner Jadi Misteri

Artikel ini sudah pernah tayang pada Intisari. Baca artikel sumber.