Di Balik Maraknya Kekerasan Terhadap Jurnalis Amerika Pada Abad 19

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 3 Juli 2018 | 16:30 WIB
Ilustrasi kekerasan saat warga kulit putih membakar surat kabar antiperbudakan. (Fotosearch/Getty Images)

Sebelum Perang Saudara berlangsung, penyerangan yang dilakukan sesama warga Amerika telah terjadi – khususnya kepada para jurnalis. Sekitar 1830-an, mendirikan surat kabar di AS sangat berbahaya. Apalagi, jika editor memutuskan untuk membahas perbudakan.

Dalam kalimat yang lebih sederhana, Anda harus menerima kenyataan bahwa kekerasan menjadi bagian dari tugas seorang jurnalis pada masa itu.

Ada lebih dari 100 kerusuhan yang menyerang surat kabar antiperbudakan. Serangan massa pada 1837 bahkan menewaskan seorang editor, Elijah Lovejoy.

Baca juga: Surat-surat Einstein yang Berisi Kisah Pelariannya dari Nazi Terungkap

Ini bukan pertama kalinya Lovejoy berhadapan dengan aksi kekerasan massa. Hal tersebut pernah dialaminya pada 1833, ketika ia menjadi editor St. Louis Observer di Missouri, dan mulai menerbitkan berita antiperbudakan.

Missouri sendiri merupakan salah satu ‘negara budak’. Artikel yang dibuatnya langsung membuatnya menjadi sasaran massa. Ancaman demi ancaman memaksa Lovejoy untuk melarikan diri ke kota Alton, salah satu wilayah bebas di Illinois.

Di sana, ia mulai menerbitkan Alton Observed dan melanjutkan perjuangan untuk menghapus praktik perbudakan melalui tulisan-tulisannya.

Namun, bagaimana pun juga, fakta bahwa Illinois merupakan ‘negara bebas’, tidak menjamin bahwa warga kulit putih di sana menolak perbudakan. Pada kenyataannya, mereka justru membenci orang kulit hitam yang bisa hidup dengan bebas di AS.

Pada 7 November 1837, pemberontak menyerbu gudang Lovejoy dan merusak mesin cetak miliknya. Ini sebenarnya mesin cetak keempat Lovejoy yang dirusak – tiga sudah hancur pada kerusuhan-kerusuhan sebelumnya.

Itu juga terakhir kalinya Lovejoy mampu bertahan dari kekerasan – ia tewas ditembak setelahnya.

Ilustrasi penyerangan di Illinois yang menewaskan Elijah Lovejoy. (Hulton Archive/Getty Images)

“Sampai sekarang, peristiwa tersebut adalah yang paling kejam,” ujar John Nerone, profesor komunikasi di University of Ilinois sekaligus pengarang buku Violence Against the Press.