Menurut Nerone, kerusuhan itu merupakan bagian dari langkah politik yang telah diperhitungkan. Salah satu pemimpin kerusuhan adalah Usher F. Linder, seorang jaksa agung di Illinois yang mendukung praktik perbudakan.
Sebelum adanya iklan dan kode etik jurnalistik, surat kabar bekerja sama dengan partai politik dan penguasa untuk mengangkat isu yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Mereka bersekutu membuat berita negatif mengenai kelompok lawan dan merencanakan penyerangan.
“Mereka ingin menunjukkan bahwa orang-orang yang ingin menghapus perbudakan adalah sekelompok orang gila,” kata Nerone.
Ketika merencanakan penyerangan, surat kabar tersebut menganggapnya sebagai ‘pertemuan tertib yang terhormat’. Sama seperti rapat politik lainnya, mereka memilih pemimpin, menjelaskan misi, kemudian pergi ke lokasi penerbitan dan membuang mesin-mesin cetak ke sungai.
Baca juga: Piala Dunia 1938: Saat Nazi Memaksa Warga Austria Bermain Untuk Jerman
Selain Lovejoy, ada beberapa jurnalis antiperbudakan lainnya yang menjadi korban. Terutama jika ia adalah orang kulit hitam seperti David Walker.
Setelah Walker menyebarkan brosur yang meminta para budak untuk memperjuangkan kebebasan mereka pada 1829, tak lama setelah itu, muncul pengumuman untuk menangkapnya. Bagi siapa pun yang bisa melakukannya akan diberi hadiah 10 ribu dollar AS.
Tidak hanya antiperbudakan, para jurnalis yang menulis sesuatu tentang politisi yang tidak mereka sukai, berakhir dengan ditindas, dirampok, atau ditembak.
Ancaman terhadap editor surat kabar berlangsung hingga 1880-an. Namun, bagi jurnalis kulit hitam Frederick Douglass dan Ida B. Wells, kekerasan tidak berhenti dan akhirnya menjadi bagian dari pekerjaan mereka.