Fenomena Omprengan: Solusi Mobilitas Komuter Pinggiran Jakarta

By National Geographic Indonesia, Rabu, 18 Juli 2018 | 14:10 WIB
Padatnya penduduk ditambah dengan terbatasnya transportasi publik memunculkan fenomena menebeng/mengompreng. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

Kurangnya layanan angkutan umum khususnya pada jam-jam sibuk inilah yang mendorong munculnya omprengan dalam sistem transportasi komuter pinggiran Jakarta.

Hasil studi yang dilakukan oleh World Bank pada 1995 memperlihatkan, sekitar 55% dari bus reguler mengalami kelebihan penumpang pada jam-jam sibuk. Kondisi itulah yang mendorong para komuter untuk mencari alternatif transportasi yang lebih nyaman.

Kurangnya transportasi nyaman

Angkutan massal yang nyaman yang tersedia di wilayah pinggiran Jakarta saat ini hanyalah bus TransJakarta yang jumlah armada dan rutenya pun terbatas. Berdasarkan peta rute layanan TransJakarta, layanan lintas batas (suburban service) Transjabodetabek hanya memiliki 11 rute dengan jumlah armada 166 bus.

Layanan Transjabodetabek ke Kota Tangerang. ()

Selain TransJakarta dari Pemda DKI, pemerintah pusat melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan sebenarnya telah menyediakan pula armada angkutan bernama Jabodetabek Residence (JR) Connexion namun layanannya hanya terbatas pada kalangan menengah atas.

Kebutuhan angkutan umum komuter mendorong tumbuhnya sistem omprengan secara organik di berbagai titik simpul permukiman padat pinggiran Jakarta.

Hingga saat ini, praktik mengompreng masih banyak ditemukan di hampir seluruh pinggiran Jakarta, di antaranya Tangerang, Bekasi, Depok, dan juga Bogor. Hal ini dikarenakan jumlah angkutan umum di pinggiran Jakarta memang masih belum memadai dan sebaran jangkauannya masih belum merata.

Hal ini dibuktikan dengan sebaran titik-titik simpul omprengan yang secara spasial memang berada cukup jauh dari rute bus reguler dan jaringan kereta. Di samping itu, jika dibandingkan dengan kenyamanan dan efektivitas moda, omprengan masih menjadi favorit karena lebih mudah dan cepat.

Penelitian dari Universitas Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa fleksibilitas omprengan menjadikan omprengan lebih efektif dan efisien sehingga penumpang tidak perlu berpindah-pindah kendaraan, atau dengan kata lain dapat menghemat biaya perjalanan dan menekan biaya transit.

Sebagai perbandingan, seorang komuter butuh biaya sekitar Rp 120,000 untuk menempuh jarak 30 kilometer ke pusat kota dengan menggunakan taksi. Sedangkan lewat omprengan, biaya bisa ditekan hingga Rp 10,000 per orang, karena setiap kendaraan bisa mengangkut 7-8 orang.

Bagaimana omprengan bekerja

Dalam perkembangannya, omprengan merupakan sistem transportasi yang lahir dari masyarakat secara informal yang bentuknya tidak terstruktur.

Omprengan ini muncul sebagai sistem atas respons dari kebutuhan dan kapasitas masyarakat akan transportasi yang efektif menuju Jakarta.