Fenomena Omprengan: Solusi Mobilitas Komuter Pinggiran Jakarta

By National Geographic Indonesia, Rabu, 18 Juli 2018 | 14:10 WIB
Padatnya penduduk ditambah dengan terbatasnya transportasi publik memunculkan fenomena menebeng/mengompreng. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

Antrian armada omprengan di perempatan Mitra pada pukul 05.20. ()

Dalam sistem omprengan, terdapat unsur-unsur penting yang membentuk sistem yaitu aktor, armada, halte, dan waktu keberangkatan. Setidaknya ada tiga golongan peran yang terbentuk, di antaranya komuter penyedia jasa, komuter penumpang, dan calo. Berbeda dengan layanan omprengan yang dimediasi oleh perusahaan aplikasi, transaksi pada ngompreng lebih luwes dan lebih menekankan pada kompensasi ongkos bensin dan “keuntungan” satu sama lain.

Peran calo hanya sebatas memberikan keterangan jurusan-jurusan dan mendapatkan sedikit uang jasa dari komuter pemilik mobil.

Menurut riset kecil yang saya lakukan, satu titik simpul omprengan dalam durasi yang singkat (pukul 05.15-05.30) dapat mengakomodasi setidaknya 80 orang dengan jumlah 10 mobil. Jika diestimasi tiap kota pinggiran memiliki 4 titik simpul, maka perkiraan komuter yang dapat terangkut oleh moda ini yaitu sekitar 1,280 penumpang atau setara dengan kapasitas total penumpang untuk 25 bus JR Connexion. Jumlah ini mungkin cukup sedikit, namun kenyataannya sangat membantu masyarakat terutama pada jam berangkat kerja di daerah yang tingkat pelayanan angkutan umumnya rendah.

Tidak mencari untung dan kontroversi legalitas

Pada praktiknya, mengompreng merupakan salah satu bentuk ekonomi berbagi (sharing economy) yang berbentuk paguyuban dan bersifat tolong-menolong dan tidak mencari keuntungan.

Masyarakat kota selama ini dikenal dengan hubungan formal, pilihan rasional, dan cenderung anonim. Hal ini sebenarnya juga tercermin dari bagaimana para komuter memilih omprengan untuk mengatasi jarak jauh dan waktu tempuh dalam bekerja dengan sifatnya yang murah, cepat dan praktis.

Namun demikian, fakta yang menarik dalam omprengan adalah relasi yang terbentuk di dalamnya bersifat komunal. Hal ini dapat terbentuk akibat adanya kohesi sosial yang terjadi dalam relasi komuter penyedia jasa dan komuter penumpang. Proses mengompreng yang mulanya spontan dan tanpa rencana seringkali berubah menjadi rutinitas yang menjadi pertemanan akibat frekuensi menumpang yang cukup intens.

Meski menjadi alternatif favorit bagi sebagian komuter, aspek legalitas dari omprengan menjadi bahan perdebatan. Walaupun berbeda dengan kasus omprengan di daerah lain seperti di Bandung dan Cengkareng yang sering bermasalah karena kesamaan trayek dengan angkutan umum, omprengan komuter dalam hal ini tetaplah ilegal.

Namun, karena keberadaannya yang cenderung membantu masyarakat dan tidak merugikan pihak angkutan umum lainnya, omprengan masih beroperasi sampai sekarang meski statusnya yang ilegal.

Evolusi digital

Saat ini, aktivitas omprengan berubah seiring dengan perkembangan teknologi. Banyak para pelanggan memanfaatkan media sosial untuk saling berkoordinasi dalam mencari tebengan seperti di Twitter dan Facebook.

Aplikasi-aplikasi online banyak juga bermunculan seperti Nebengers, Nebeng.com dan Ompreng.com.

Menyadari adanya peluang bisnis, penyedia aplikasi transportasi online seperti GoJek dan Grab pun mengadopsi konsep omprengan ke dalam platform digital mereka.