Fenomena Omprengan: Solusi Mobilitas Komuter Pinggiran Jakarta

By National Geographic Indonesia, Rabu, 18 Juli 2018 | 14:10 WIB
Padatnya penduduk ditambah dengan terbatasnya transportasi publik memunculkan fenomena menebeng/mengompreng. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

Banyak yang kemudian mengganggap bahwa perusahaan ini yang menggagas ide sharing economy dalam operasional kerjanya

Padahal, yang terjadi tidaklah demikian. Harvard Business Review mengatakan bahwa proses berbagi dalam sharing economy pada dasarnya merupakan sebuah proses berbagi akses barang dan jasa pada sekumpulan orang yang sudah saling mengetahui dan tidak mengambil keuntungan.

Praktik omprengan di perempatan Mitra, Karawaci, Tangerang pada pagi hari. ()

Masa depan omprengan

Dalam menyikapi fenomena omprengan sebagai sharing economy, kita memiliki berbagai pilihan dan kemungkinan tentang bagaimana kita melihat masa depan kota dan omprengan.

Menurut ahli studi inovasi dari Universitas Utrecht, Belanda Koen Frenken terdapat tiga kemungkinan dalam melihat masa depan omprengan melalui konsep sharing economy.

Pilihan pertama lewat platform kapitalistik. Dalam konteks omprengan, pilihan ini sudah terlihat melalui adopsi perusahaan-perusahaan jasa vendor seperti Grab atau GoJek yang mengkapitalisasi sistem omprengan.

Kemungkinan yang kedua, adalah platform redistribusi. Di dalamnya, masyarakat menyerahkan peran kepada pemerintah untuk mendistribusikan sarana transportasi dan pajaknya pada masyarakat luas. Di Indonesia, pemerintah sebenarnya telah melakukan banyak upaya untuk menyelesaikan masalah transportasi khususnya Jabodetabek.

Namun, Laporan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang melibatkan 17 studi mengenai transportasi Jabodetabek sejak tahun 1974 menunjukkan kompleksitas permasalahan transportasi kita sehingga sulit rasanya untuk mengembangkan omprengan lewat platform yang kedua.

Baca juga: Pikirkan Sejenak, Apakah Kita Sudah 'Dikendalikan' oleh Smartphone?

Kemungkinan yang terakhir, adalah platform kerjasama (cooperativisme). Di dalamnya, masyarakat menjadi aktor utama dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang seharusnya hadir di lingkungan masyarakat.

Terlepas dari aspek legalitasnya, omprengan sudah menjadi contoh kecil yang sukses bagaimana platform ketiga ini dapat terbangun dan menjadi solusi dalam hal mobilitas komuter pinggiran Jakarta.

Keberdayaan komunitas komuter dalam menyiasati kelemahan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur transportasi ini merupakan bukti bahwa masyarakat mampu bertahan dan mampu memberikan solusi atas masalah yang ada.

Dengan demikian, platform yang ketiga bisa jadi pilihan yang tepat karena masyarakat sudah membuktikannya dengan sistem omprengan informal yang saat ini ada. Masyarakat sepenuhnya berhak untuk menentukan seperti apa masa depan kota yang diinginkan.

Penulis: Dwiyanti Kusumaningrum, Researcher in Human Ecology, Population Research Center, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.