Kerja Empat Hari Dalam Seminggu Justru Buat Karyawan Lebih Produktif

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 24 Juli 2018 | 15:53 WIB
Ilustrasi ruang kerja. (Deagreez)

Eksperimen bekerja empat hari dalam seminggu yang dilakukan di Selandia Baru mencapai akhirnya setelah dilakukan selama dua bulan. Itu menunjukkan hasil yang baik sehingga perusahaan ingin menerapkannya secara permanen.

Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa pengurangan jam kerja bisa memberikan manfaat pada karyawan, tapi yang paling menarik adalah bagaimana para staf di perusahaan Perpetual Guardian hanya masuk empat hari kerja, namun tetap dibayar untuk lima hari.

Dari perspektif manajemen dan operasional, cara itu mungkin terdengar sedikit gila. Namun, menurut Andrew Barnes, pendiri perusahaan, tindakan berisiko ini benar-benar membuahkan hasil.

Baca juga: 8 Kebiasaan Yang Dianggap Buruk Ini Sebenarnya Tanda Bahwa Anda Cerdas

Selama lebih dari delapan minggu pada Maret dan April lalu. Perpetual Guardian, meliburkan satu hari -- di luar akhir pekan -- kepada 240 karyawannya untuk melihat bagaimana itu memengaruhi bisnis.

Para peneliti di University of Auckland dan Auckland University of Technology kemudian melakukan survei independen kepada para karyawan. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar stres mereka turun dari 45% menjadi 38%. Sementara angka keseimbangan kehidupan dan pekerjaannya meningkat dari 54% menjadi 78%.

Tentu saja hasil ini sudah dapat diprediksi, mengingat para karyawan dibayar dengan gaji yang sama meski hanya masuk empat hari. Namun, yang lebih mengejutkan, tidak ada dampak negatif sama sekali pada produktivitas mereka.

“Tidak ada perubahan pada output perusahaan, baik sebelum maupun sesudah eksperimen dilakukan,” ujar Barnes dalam sebuah pernyataan pers.

“Kinerja mereka tetap sama, bahkan data survei menunjukkan adanya peningkatan marjinal pada sebagian besar tim,” imbuhnya.

Selama eskperimen, semua bagian perusahaan berusaha memaksimalkan pekerjaan lima hari dalam empat hari. Perpetual Guardian melaporkan peningkatan yang signifikan pada aspek keterlibatan, seperti komitmen, kepemimpinan, dan pemberdayaan.

“Yang kami lihat adalah peningkatan keterlibatan yang masif dan kepuasan staf pada pekerjaannya. Dengan begitu, mereka termotivasi maju bersama perusahaan dan tidak ada penurunan produktivitas,” tutur Barnes kepada New Zealand Herald.

Baca juga: Fenomena Omprengan: Solusi Mobilitas Komuter Pinggiran Jakarta