Jauh sebelum penyedia aplikasi transportasi online menyediakan layanan tebengan kepada pelanggannya seperti GrabHitch, masyarakat Indonesia sudah lama mengenal konsep menebeng/mengompreng lewat keseharian mereka.
Di kota-kota kecil atau pun di pedesaan, omprengan biasanya berupa mobil butut yang dipakai untuk antar jemput pedagang ke pasar pada dini hari ketika angkutan umum tidak tersedia di suatu wilayah pada waktu tertentu.
Namun di Jakarta, omprengan diadopsi sebagai moda transportasi alternatif yang mendukung mobilitas para komuter untuk saling berbagi kendaraan (ridesharing) dalam perjalanan pulang pergi dari kantor di pusat Jakarta karena keterbatasan angkutan umum.
Tulisan ini akan membahas sejarah dan perkembangan omprengan di Indonesia sebelum akhirnya memberikan gagasan bagaimana mengembangkan omprengan sebagai solusi komuter untuk mengatasi keterbatasan transportasi perkotaan saat ini.
Omprengan sebagai transportasi alternatif tidak muncul secara tiba-tiba.
Perkembangan Jakarta yang pesat sejak tahun 1960-an menyebabkan tingginya populasi Jakarta dan sekitarnya hingga kini mencapai lebih dari 30 juta jiwa. Pusat kota Jakarta menyerap tenaga kerja yang tinggi, beberapa institusi pendidikan tinggi juga berlokasi di pusat kota, sehingga banyak komuter baik itu pekerja maupun mahasiswa pulang pergi dari dan ke Jakarta.
Kegiatan menebeng sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 1990-an, beriringan dengan maraknya urbanisasi di wilayah pinggiran Jakarta. Perluasan kawasan perkotaan Jakarta ke pinggiran menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan alat transportasi bagi para komuter yang ingin beraktivitas di pusat kota.
Baca juga: Ledakan Penduduk Dunia dan Efek Domino yang Mengancam Kehidupan
Padatnya penduduk di pinggiran Jakarta ditambah dengan terbatasnya transportasi publik menyebabkan omprengan muncul sebagai alternatif untuk pergi dari dan ke Jakarta.
Menurut statistik komuter BPS tahun 2014, jumlah komuter yang ada di Jabodetabek berjumlah 3,566,178 jiwa dengan 2,262,737 jiwa berasal dari pinggiran Jakarta (Bodetabek). Jumlah ini dipastikan bertambah karena penduduk DKI Jakarta selalu meningkat tiap tahunnya akibat arus urbanisasi.
Pertumbuhan penduduk ini tidak diimbangi dengan jumlah angkutan umum yang memadai.
Menurut data BPS DKI Jakarta, jumlah angkutan umum reguler Jabodetabek dan Transjabodetabek hanya berjumlah 1,148 armada.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR